Di tengah megahnya istana Khalifah Harun Al-Rashid, dua qari terkemuka, Imam Kisaai dan Al-Yazidi, menjalankan tugas mulia.
Mereka diminta mengajarkan Al-Qur’an dan adab kepada Al-Amin, putra sang khalifah.
Saat waktu Magrib tiba, sang khalifah meminta Imam Kisaai untuk memimpin shalat Magrib berjamaah.
Di tengah kekhusyukan, terjadi hal
yang tak terduga.
Imam Kisaai, sang Qari terkemuka dengan suaranya yang merdu, tiba-tiba salah baca di surat Al-Kafirun. Sebagian kata pun terlupa.
Setalah salam, Al-Yazidi mengejek, “Kok bisa-bisanya seorang qari besar SALAH UCAP di surat yang cukup mudah?”
Imam Kisaai hanya diam dan tidak menanggapi.
Ketika waktu Isya tiba, Al-Yazidi mengambil inisiatif untuk memimpin shalat Isya berjamaah.
Ketika membaca surat Al-Fatihah, Al-Yazidi tiba-tiba salah ucap dan juga lupa beberapa kata.
Setelah salam, Imam Kisaai menasehati Al-Yazidi, “Jagalah lidahmu. Janganlah mengucapkan sepatah kata pun yang nantinya dapat mendatangkan kesusahan. Sungguh lidah sering menjadi penyebab kesusahan.”
Dari kisah ini, tersirat pelajaran berharga. Tak peduli seberapa tinggi keahlian kita, kesalahan adalah hal yang wajar. Apalagi bila sudah meminta maaf.
Yang tak wajar adalah kebiasaan mengolok-olok kesalahan orang lain.