Ahli sastra Arab, Al-Asma’i, pernah mendengar seorang Badui mengatakan sesuatu yang membuatnya tersenyum. Si Badui rupanya bersenandung:
“Jika kamu ingin mengetahui karakter seseorang, maka lihatlah bagaimana cintanya pada tanah airnya, bagaimana rindunya pada keluarganya, dan bagaimana tangisannya pada masa yang telah ia lalui.”
Mencintai tanah air, tempat seorang lahir, tumbuh, dan hidup, adalah fitrah manusia.
Rasulullah ﷺ pun begitu mencintai Mekkah, hingga ketika beliau dipaksa keluar dari sana, beliau pun keluar dengan mata yang berkaca-kaca.
Ketika baru saja sampai di Madinah, Rasulullah ﷺ pun tetap mendoakan Mekkah serta mendoakan kebaikan “kampung” barunya.
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَمَا حَبَّبْتَ مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ وَصَحِّحْهَا وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا
Ya Allah, tanamkanlah kecintaan kami terhadap Madinah sebagaimana Makkah, atau bahkan lebih dari Makkah. Jadikanlah Madinah kota yang sehat, dan berikanlah keberkahan pada takaran Sha’ dan takaran Mudd kami (HR. Muslim no. 1376).
Mencintai tanah air, atau bersyukur masih punya tanah air, adalah civic duty yang tak bisa diwakilkan kepada orang lain. Kalau diri kita sendiri tidak cinta tanah air, jangan harap bangsa lain akan mewakili kita.
Seorang pengungsi dari Afghanistan sambil berurai air mata pernah berkata kepada saya, “Bersyukurlah atas negeri yang kamu miliki, Indonesia. Negerimu ini begitu indah, dan, yang terpenting, aman.”
Selamat ulang tahun, Indonesia. Salam mulia, jaya, jaya.