Berkekuatan 3400 prajurit, Athena tiba-tiba menginvasi pulau Melos, yang selama ini memilih untuk netral di tengah konflik antara Athena dan Sparta.
Dengan angkuh, diplomat Athena mendesak Melos untuk menyerah tanpa syarat: menjadi negara pengekor dan membayar upeti kepada Athena.
Jika menolak, maka Melos akan dihancurkan. Warga mereka akan dibantai dan diperbudak.
Diplomat Melos mencoba “mewaraskan” Athena lewat argumen tentang moralitas dan keadilan yang selama ini Athena gembar-gemborkan.
“Hukum bangsa-bangsa memberi kami hak untuk netral, dan tak ada satu bangsa pun di dunia ini yang berhak menyerang bangsa lain tanpa sebab,” ujar diplomat Melos. “Kami ini bangsa independen selama ratusan tahun, dan kami tak sudi kemerdekaan kami direnggut.”
Diplomat Athena, seperti kata Thucydides, ogah bertele-tele.
Dengan pongah, dia berkata tentang realitas dunia, “Si kuat (berhak) melakukan apa saja yang dia mau, dan si lemah menderita apa yang harus dia derita.”
Dengan kata lain, lupakanlah benar atau salah, adil atau zalim.
Persetan semua itu, karena prinsip dunia hanya satu: might makes right (kekuatanlah yang membuat segala sesuatu menjadi benar). Kurang-lebih begitu maksud dari diplomat Athena.
Benar saja, Melos akhirnya harus menderita: ia dihancurkan, warganya dibantai dan sebagian diperbudak.
Sedihnya, peristiwa 2400 tahun yang lalu kerap berulang di era yang katanya modern dan humanis ini.
Di setiap ketidakadilan dan penyerbuan sepihak oleh suatu negara, kisah tragis pulau Melos menemukan relevansinya kembali.
Tak aneh bila di setiap akademi militer, kisah ini dipelajari sebagai pengingat bahwa malapetaka dapat saja terjadi kepada bangsa yang baik sekalipun, yang selama ini patuh pada hukum dan norma internasional.
Maka, dari kisah Melos, ada pelajaran penting lain yang dapat diambil: si vis pacem, para bellum. Jika ingin perdamaian, kita pun harus bersiap-siap menghadapi peperangan.
Sebab keadilan belum tentu memihak pada si baik.
Dan bila tidak siap, negara baik yang diserbu dan dihancurkan, kata Sun Tzu, “Tak akan pernah bisa muncul lagi, seperti halnya orang yang mati tak akan pernah bisa dihidupkan kembali.”