Tekan ESC untuk keluar

SI KUAT DAN SI LEMAH

Berkekuatan 3400 prajurit, Athena tiba-tiba menginvasi pulau Melos, yang selama ini memilih untuk netral di tengah konflik antara Athena dan Sparta.

Dengan angkuh, diplomat Athena mendesak Melos untuk menyerah tanpa syarat: menjadi negara pengekor dan membayar upeti kepada Athena.

Jika menolak, maka Melos akan dihancurkan. Warga mereka akan dibantai dan diperbudak.

Diplomat Melos mencoba “mewaraskan” Athena lewat argumen tentang moralitas dan keadilan yang selama ini Athena gembar-gemborkan.

“Hukum bangsa-bangsa memberi kami hak untuk netral, dan tak ada satu bangsa pun di dunia ini yang berhak menyerang bangsa lain tanpa sebab,” ujar diplomat Melos. “Kami ini bangsa independen selama ratusan tahun, dan kami tak sudi kemerdekaan kami direnggut.”

Diplomat Athena, seperti kata Thucydides, ogah bertele-tele.

Dengan pongah, dia berkata tentang realitas dunia, “Si kuat (berhak) melakukan apa saja yang dia mau, dan si lemah menderita apa yang harus dia derita.”

Dengan kata lain, lupakanlah benar atau salah, adil atau zalim.

Persetan semua itu, karena prinsip dunia hanya satu: might makes right (kekuatanlah yang membuat segala sesuatu menjadi benar). Kurang-lebih begitu maksud dari diplomat Athena.

Benar saja, Melos akhirnya harus menderita: ia dihancurkan, warganya dibantai dan sebagian diperbudak.

Sedihnya, peristiwa 2400 tahun yang lalu kerap berulang di era yang katanya modern dan humanis ini.

Di setiap ketidakadilan dan penyerbuan sepihak oleh suatu negara, kisah tragis pulau Melos menemukan relevansinya kembali.

Tak aneh bila di setiap akademi militer, kisah ini dipelajari sebagai pengingat bahwa malapetaka dapat saja terjadi kepada bangsa yang baik sekalipun, yang selama ini patuh pada hukum dan norma internasional.

Maka, dari kisah Melos, ada pelajaran penting lain yang dapat diambil: si vis pacem, para bellum. Jika ingin perdamaian, kita pun harus bersiap-siap menghadapi peperangan.

Sebab keadilan belum tentu memihak pada si baik.

Dan bila tidak siap, negara baik yang diserbu dan dihancurkan, kata Sun Tzu, “Tak akan pernah bisa muncul lagi, seperti halnya orang yang mati tak akan pernah bisa dihidupkan kembali.”

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩