Saat Athena berada di ambang huru-hara, terpilihlah Solon. Sungguh beban yang dipikulnya tidaklah mudah, kata sejarawan Plutarch.
Banyak rakyat Athena saat itu mengalami kelaparan, kemiskinan, dan lilitan utang.
Sementara itu, keputusan politik dan pengadilan dianggap oleh rakyat jelata hanya menguntungkan sebagian elit saja.
Jarak antara si miskin dan si kaya semakin lebar.
Si kaya asyik pelesiran dari satu vila ke vila lainnya dengan kereta kencananya, sedangkan si miskin letih berputar-putar mencari kerja.
Solon, seorang politisi berdarah biru itu, menjanjikan transformasi yang lebih dari sekadar retorika.
Ia gercep menghapus utang yang mencekik, mengatur tanggung jawab (juga pajak) yang lebih besar kepada elit, dan memberi ruang yang lebih luas kepada rakyat biasa dalam pemerintahan.
Keputusan top-down ala Solon ini memang tak bisa menyenangkan semua.
Tapi hampir semua bisa sepakat—seperti kata sejarawan Will dan Ariel Durant—bahwa transformasi Solon-lah yang menyelamatkan Athena dari revolusi.
Tak aneh bila filsuf Aristoteles di kemudian hari menjuluki Solon sebagai “Sang Pembela Rakyat.”