Abstrak
Kepemimpinan strategis dan statecraft adalah elemen kunci dalam mencapai Visi Indonesia Emas 2045. Melalui analisis sejarah dan teori kepemimpinan, tulisan ini menunjukkan bahwa keberhasilan atau kegagalan suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas kepemimpinannya. Artikel ini mengeksplorasi konsep kepemimpinan strategis yang efektif berdasarkan ragam teori para ahli, serta pentingnya kombinasi nilai-nilai kepemimpinan Barat dan Timur dalam konteks Indonesia. Rekomendasi praktis mencakup pengembangan program pelatihan kepemimpinan muda berkelanjutan, pentingnya integritas dan komitmen terhadap bangsa, serta budaya anti-korupsi. Implementasi kebijakan yang berhasil seperti hilirisasi menunjukkan pentingnya kepemimpinan strategis dan statecraft dalam membawa manfaat besar bagi negara. Tulisan ini menekankan bahwa pemimpin bangsa selanjutnya perlu mengimplementasikan kepemimpinan strategis yang terampil, berintegritas, dan bebas dari korupsi untuk merealisasikan Visi Indonesia Emas 2045.
Kata kunci: Kepemimpinan strategis, statecraft, Visi Indonesia Emas 2045, integritas, pelatihan kepemimpinan, hilirisasi, anti-korupsi
Pendahuluan
“Jika kamu menjadi seorang pemimpin, yang membimbing tindakan banyak orang, berusahalah untuk menjadi pemimpin yang baik dan ramah, dan upayakan perilakumu sempurna,” tulis Ptahhotep, seorang wazir di bawah Raja Isesi dari Dinasti Kelima Mesir (Gutenberg, n.d.). Instruksi Ptahhotep, begitu tulisan di atas kini dikenal, diyakini oleh banyak sejarawan sebagai buku tertua di dunia yang mengandung ajaran tentang kepemimpinan.
Buku yang berusia lebih dari 4000 tahun tersebut ditulis oleh Ptahhotep untuk anaknya yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Mesir di masa depan. Instruksi Ptahhotep ini menggarisbawahi betapa pentingnya ilmu kepemimpinan untuk keberlanjutan sebuah peradaban—bahkan sejak ribuan tahun yang lalu.
Sejarawan terkenal Arnold Toynbee, yang telah mempelajari timbul dan tenggelamnya 26 peradaban dunia mengatakan bahwa sejarah dapat diringkas dalam rumus sederhana: tantangan dan tanggapan. Dalam bukunya A Study of History, Toynbee menjelaskan bahwa tantangan tercipta dari dinamika peristiwa dunia (i.e., krisis, wabah, perang, dst.) lalu bagaimana pemimpin dan yang dipimpin menyikapinya (Toynbee, 1934). Bagi Toynbee, maju dan mundurnya peradaban tidak bisa dipisahkan dari faktor kepemimpinan.
Hal senada juga disampaikan oleh sejarawan Will dan Ariel Durant. Seperti Toynbee, keduanya mempelajari puluhan peradaban yang pernah ada dan yang sedang berlangsung. Dalam The Lessons of History, Will dan Ariel Durant menyatakan bahwa meskipun peradaban besar dapat hancur karena faktor eksternal, kehancuran tersebut biasanya didahului oleh “kegagalan kepemimpinan,” terutama dalam menyikapi konflik internal (Durant & Durant, 1968).
Oleh karena itu, tak aneh bila setiap peradaban di dunia—baik klasik maupun modern, Timur maupun Barat—menaruh perhatian besar terhadap kepemimpinan dikarenakan hal ini menyangkut keberlangsungannya (survival). Perbedaan dalam jenis dan/atau titik fokus pada bentuk ideal kepemimpinan (e.g., moral, religius, ideologi, dst.) bisa saja terjadi dari satu peradaban ke peradaban lain, dari suatu negara ke negara lain. Namun, secara umum kaum intelektual lintas ruang dan waktu menyadari bahwa kepemimpinan dan pemimpin bisa memajukan atau menghancurkan suatu bangsa (a leader can make or break a nation).
Dalam bukunya Paradoks Indonesia dan Solusinya, Prabowo Subianto menggarisbawahi bahwa salah satu masalah bangsa Indonesia saat ini adalah “masalah kepemimpinan, masalah kearifan, masalah kehendak untuk mengambil keputusan-keputusan politik yang tepat” (Subianto, 2022). Dalam Strategi Transformasi Bangsa, Prabowo Subianto menjelaskan bahwa Indonesia kehilangan hampir 2.800 triliun rupiah setiap tahun akibat korupsi dan kebocoran anggaran (Subianto, 2023).
Masalah kepemimpinan ini menjadi relevan dan penting mengingat Indonesia sedang berupaya mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045. Sederhananya, pada 100 tahun perayaan kemerdekaan nanti, Indonesia ditargetkan mampu menjadi salah satu dari lima raksasa ekonomi dunia (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2019). Selain itu, Indonesia juga ditargetkan untuk bertransformasi menjadi negara berpendapatan tinggi dan keluar dari jebakan negara kelas menengah (middle income trap).
Untuk sampai kepada Visi Indonesia 2045, ada lima sasaran besar yang perlu digapai pada tahun atau sebelum tahun 2045: pertama, pendapatan per kapita setara dengan negara maju; kedua, kemiskinan menuju 0% dan ketimpangan berkurang; ketiga, kepemimpinan dan pengaruh dunia internasional meningkat; keempat, daya saing sumber daya manusia meningkat; dan kelima, intensitas Gas Rumah Kaca (GRK) menurun menuju net zero emissions (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2024).
Oleh karena itu, kepemimpinan strategis nasional menjadi krusial karena akan menentukan berhasil atau gagalnya Indonesia dalam bertransformasi menjadi negara maju dan makmur. Kegagalan untuk mencapai lima sasaran utama di atas akan membuat Indonesia terombang-ambing dalam mediokritas (floating in mediocrity) dan kehilangan peluang emas untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi, terutama mengingat bonus demografi yang dijelaskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir dalam 12-13 tahun ke depan (Achmad, 2023).
Kepemimpinan dan Kepemimpinan Strategis
Dalam artikel “Understanding Leadership” dari Harvard Business Review, kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mencapai tujuan melalui arahan dan kerjasama dengan manusia lain (Prentice, 2004). Esensi kepemimpinan di sini tidak melulu soal kekuasaan, tetapi tentang kemampuan untuk memahami manusia lain dan berkolaborasi dengannya. Hasilnya adalah lingkungan kerja yang kondusif dan produktif dikarenakan tujuan seluruh anggota tim sejalan dengan tujuan organisasi.
Menurut Michael E. Porter dalam artikel “What Is Strategy?” dari Harvard Business Review, strategi adalah penciptaan posisi unik dan berharga dengan memilih serangkaian aktivitas yang berbeda dari pesaing. Strategi melibatkan pembuatan trade-off dan memastikan ada kesesuaian antara aktivitas untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Porter, 1996).
Adapun kepemimpinan strategis didefinisikan sebagai kemampuan mempengaruhi orang lain dalam pengambilan keputusan yang meningkatkan prospek jangka panjang organisasi, sambil mempertahankan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan lingkungan. Menurut Adair (2010), kepemimpinan strategis mencakup fungsi-fungsi utama seperti memberikan arahan bagi organisasi, berpikir dan merencanakan secara strategis, serta mengembangkan pemimpin masa depan. Kepemimpinan strategis tidak hanya soal visi dan arah, tetapi juga memastikan bahwa visi tersebut diwujudkan melalui tindakan konkret dan tetap adaptif terhadap perubahan lingkungan.
Dalam konteks ini, kepemimpinan strategis melibatkan kemampuan untuk menghubungkan berbagai bagian organisasi menjadi satu kesatuan yang kohesif. Hal ini mencakup membangun kemitraan, mengembangkan budaya organisasi, dan mengembangkan pemimpin masa kini dan masa depan. Kepemimpinan strategis juga dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu dalam mengarahkan orang dan sumber daya untuk mencapai tujuan jangka panjang sambil tetap responsif terhadap dinamika lingkungan eksternal (Adair, 2010).
Karakteristik dan Keterampilan Pemimpin Strategis
Karakteristik dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin strategis mencakup berbagai aspek, baik yang bersifat kognitif, afektif, maupun manajerial. Menurut Schoemaker, Krupp, dan Howland (2013), ada enam keterampilan utama yang diperlukan untuk kepemimpinan strategis. Pertama antisipasi, yaitu kemampuan untuk mendeteksi ancaman dan peluang. Pemimpin strategis harus selalu waspada dan terus mengasah kemampuan mereka untuk mengantisipasi perubahan dengan memindai lingkungan untuk sinyal perubahan.
Kedua adalah tantangan, yaitu kemampuan untuk mempertanyakan status quo dan mendorong pandangan yang beragam. Pemimpin strategis harus berani menantang asumsi mereka sendiri dan orang lain serta mendorong refleksi mendalam sebelum mengambil tindakan.
Ketiga adalah interpretasi, yaitu kemampuan untuk menyintesis informasi yang kompleks dan bertentangan. Pemimpin strategis harus mampu mengenali pola, memahami ambiguitas, dan mencari wawasan baru.
Keempat adalah keputusan, yaitu kemampuan untuk membuat keputusan sulit dengan informasi yang tidak lengkap dan sering kali harus melakukannya dengan cepat. Pemimpin strategis harus mengikuti proses yang disiplin yang menyeimbangkan ketelitian dengan kecepatan dan mempertimbangkan tujuan jangka panjang dan jangka pendek.
Kelima adalah penyelarasan, yaitu kemampuan untuk menemukan kesamaan dan mencapai kesepakatan di antara para pemangku kepentingan yang memiliki pandangan dan agenda yang berbeda. Pemimpin strategis harus proaktif dalam komunikasi, membangun kepercayaan, dan sering terlibat dengan pemangku kepentingan.
Keenam adalah pembelajaran, kemampuan untuk mempromosikan budaya pembelajaran dan menemukan pelajaran atau lesson learned dari suatu prestasi maupun kegagalan. Pemimpin strategis harus mempromosikan budaya di mana kesalahan dapat dilihat sebagai peluang belajar dan memperbaiki diri.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie (2024) menambahkan bahwa kepemimpinan strategis tidak hanya berfokus pada pengetahuan kognitif dan keterampilan manajerial, tetapi juga pada karakter dan integritas pemimpin. Menurutnya, kepemimpinan yang efektif harus dibina melalui pengalaman praktik dan keteladanan dari tokoh-tokoh teladan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pemimpin mampu menjalankan tanggung jawab mereka dengan rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap kepentingan umum (Jimly, 2024).
Selanjutnya, berbicara kepemimpinan strategis tidaklah lengkap tanpa membahas kepemimpinan militer. Terlebih lagi, karena studi kepemimpinan sejak lama menemukan “rumahnya” di militer yang mensyaratkan keteraturan, disiplin, dan seni mengelola manusia. Bahkan, kata strategi sendiri berasal dari bahasa Yunani stratēgia yang berarti komando seorang jenderal (strategy | Search Online Etymology Dictionary, t.t.)
Dalam bukunya Kepemimpinan Militer Jilid 1, Prabowo Subianto menguraikan lima karakteristik yang perlu dimiliki oleh pemimpin (Subianto, 2023). Kelima hal tersebut adalah:
- Kemampuan/kecakapan profesional, yakni seorang pemimpin haruslah benar-benar menguasai bidang pekerjaannya. Selain itu, pemimpin harus memiliki kecakapan mengatasi masalah saat ini dan memiliki visi jauh ke depan;
- Kepribadian, yaitu seorang pemimpin haruslah berperilaku, bermoral, dan berkepribadian baik. Idealnya, pemimpin menjiwai filosofi hasta brata;
- Kesetiaan, yaitu seorang pemimpin haruslah memiliki kesetiaan yang jelas dan nyata terhadap anak buah, bangsa, dan negara;
- Keberanian, artinya seorang pemimpin harus berani mengambil langkah untuk kebaikan institusi dan tujuan besarnya, sekalipun langkah tersebut ada resiko dan/atau resistensinya. Keberanian juga tentang kebulatan tekad dalam mengeksekusi suatu kebijakan strategis. Tak dapat dipungkiri, suatu kebijakan dan/atau transformasi strategis memerlukan keberanian untuk melaksanakannya;
- Semangat, yaitu seorang pemimpin harus memiliki persistensi dan determinasi dalam mengeksekusi kebijakan strategis. Pemimpin yang bersemangat akan memiliki kekuatan untuk merampungkan misi (to complete the mission) dan melebihi ekspektasi (to do above and beyond the call of duty).
Contoh Kepemimpinan Strategis yang Efektif: Hilirisasi
Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Dalam bukunya Strategi Transformasi Bangsa, Prabowo Subianto menjelaskan bahwa Indonesia menempati urutan 11 negara dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia, yaitu senilar 1,5 triliun dolar AS. Sebagai contoh, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, cadangan timah terbesar kedua di dunia, dan cadangan bauksit terbesar keenam di dunia (Subianto, 2023).
Selama ini, Indonesia fokus pada ekspor bahan mentah sehingga kehilangan nilai tambah yang signifikan. Oleh sebab itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil kebijakan strategis yang dikenal sebagai hilirisasi (downstreaming). Presiden juga melarang ekspor bahan mentah, seperti nikel, ke luar negeri. Pelarangan ekspor ini lalu dilanjutkan dengan larangan ekspor bauksit, tembaga dan timah. Bahan-bahan ini dibutuhkan oleh dunia untuk produksi baja, baterai, mobil listrik, dan berbagai elektronik. Kebijakan strategis ini ditentang oleh WTO dan Eropa yang mengharapkan Indonesia tetap menjual bahan mentah. Namun, Presiden Jokowi mengambil posisi yang berani untuk tetap melanjutkan hilirisasi. Hal ini dilakukan karena hilirisasi berpotensi lebih banyak manfaat bagi bangsa dan negara.
Hasil dari hilirisasi pun terlihat dengan jelas. Sebelum hilirisasi nikel, misalnya, nilai ekspor yang tercipta adalah 3,3 miliar dolar AS per tahun. Setelah hilirisasi, nilai ini meroket 10 kali lipat ke 33,8 miliar dolar AS. Semakin dalam dan jauh Indonesia melakukan hilirisasi pada komoditas bahan mentah, maka semakin besar nilai tambah yang diciptakan dan semakin besar potensi pendapatan negara.
Singkatnya, hilirisasi terbukti meningkatkan nilai tambah ekonomi, menambah lapangan pekerjaan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh sebab itu, kebijakan hilirisasi dapat dikatakan sebagai contoh sukses kebijakan dan kepemimpinan strategis yang dicontohkan oleh Presiden Jokowi. Jika kita teliti, keputusan strategis hilirisasi yang diambil oleh Presiden Jokowi sejalan dengan karakteristik kepemimpinan seperti kesetiaan (terhadap bangsa dan negara), kemampuan/kecakapan profesional (bervisi ke depan) dan keberanian (menghadapi resistensi).
Contoh Kepemimpinan yang tidak efektif: Tumbangnya Enron
Di masa jayanya pada tahun 2000, Perusahaan energi Enron di Amerika Serikat pernah masuk ke dalam 100 perusahaan terbaik di dunia versi majalah Fortune. Namun, di balik itu, pimpinan Enron, terutama Jeffrey Skilling, memiliki kepemimpinan yang buruk bahkan kriminal (Yukl, 2013). Hal buruk ini dipelihara bahkan dipromosikan hingga menular kepada anak buahnya.
Dari perspektif kepribadian, Skilling dan sebagian anak buahnya melakukan penipuan pencatatan finansial (deceptive financial reports) yang jelas melanggar etika dan hukum guna memberikan kesan bahwa Enron adalah perusahaan yang menguntungkan (profitable).
Dari perspektif kecakapan profesional, Skilling dan sebagian anak buahnya hanya fokus pada keuntungan jangka pendek dan melupakan keberlangsungan jangka panjang dengan melazimkan banyak praktek yang ilegal. Skilling juga tidak memberlakukan merit system dalam promosi jabatan. Yang dipromosi adalah individu yang menghalalkan segala cara untuk mendapat profit, bukan yang memang kompeten.
Dari perspektif kesetiaan, Skilling tidak memiliki kesetiaan terhadap anak buah dan pelanggannya. Ia sengaja menciptakan pemadaman kepada pelanggannya di California agar meningkatkan harga energi lalu menjualnya kepada pembeli tertinggi. Skilling juga kerap melakukan pemutusan hubungan kerja kepada anak buahnya yang tidak mau melakukan praktek tidak etis dan/atau ilegal.
Akibat kegagalan kepemimpinan strategik, Enron pun bangkrut pada tahun 2001. Investor dan pemilik saham Enron pun rugi miliaran dolar. Pegawai Enron yang berjumlah 22,000 kehilangan pekerjaan akibat ulah oknum pimpinan. Arthur Andersen, perusahaan akuntan terkemuka yang disewa oleh Enron divonis terlibat penipuan finansial, sehingga dibubarkan. Skilling dan anak buahnya yang terlibat dalam praktek ilegal diseret masuk penjara. Oleh karena itu, hampir di seluruh buku teks kepemimpinan strategis, kegagalan kepemimpinan Enron menjadi contoh kasus yang lazim dibahas (Yukl, 2013).
Pentingnya Kepemimpinan dalam Dinamika Lingkungan Strategis
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menekankan pentingnya kepemimpinan strategis dalam konteks pembangunan nasional. Dalam paparannya di Universitas Pertahanan, SBY menekankan bahwa pemimpin strategis harus mampu memahami visi, misi, dan konteks perkembangan lingkungan strategis. Menurut SBY, seorang pemimpin strategis harus tidak hanya memahami visi dan misi organisasi tetapi juga harus mampu menganalisis dan menafsirkan perubahan lingkungan eksternal untuk mengantisipasi tantangan yang mungkin muncul. Pemimpin strategis harus memiliki kemampuan berpikir kritis dan analitis yang kuat untuk mengambil keputusan yang berdampak jangka panjang serta menjalankan kebijakan dan rencana strategis dengan efektif (SBY, 2024).
Selain itu, SBY juga menyoroti pentingnya kemampuan pemimpin strategis untuk mengatasi krisis dan guncangan serta menjaga tegaknya keadilan dan memimpin pembangunan nasional. Pemimpin harus memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang sulit dan tidak populer demi kebaikan jangka panjang bangsa. SBY menyatakan bahwa seorang pemimpin strategis harus mampu membangun konsensus dan kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan strategis yang efektif menurut SBY juga melibatkan pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas pendidikan untuk menciptakan generasi pemimpin masa depan yang kompeten dan berintegritas (SBY, 2024).
Dalam konteks menghadapi dinamika lingkungan strategis, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menggarisbawahi bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan. Pemimpin strategis harus memiliki visi yang jelas tentang masa depan organisasi dan mampu menginspirasi orang lain untuk bekerja menuju visi tersebut. Selain itu, Jimly menekankan pentingnya kepemimpinan yang inklusif, di mana pemimpin mampu mendengarkan dan mempertimbangkan berbagai perspektif untuk membuat keputusan yang lebih baik dan lebih holistik (Jimly, 2024).
Dengan demikian, kepemimpinan strategis yang diuraikan oleh SBY dan Jimly mencakup berbagai aspek penting seperti visi, kemampuan analitis, keberanian, integritas, dan kemampuan adaptasi. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan strategis adalah elemen kunci dalam memastikan keberhasilan organisasi dan negara dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada di lingkungan yang dinamis.
Kepemimpinan yang Tepat untuk Indonesia Ke Depan
Dalam Kepemimpinan Militer Jilid 2, Prabowo Subianto menyatakan bahwa “kepemimpinan yang tepat untuk Indonesia” adalah gabungan dari aliran kepemimpinan yang baik dari Barat dan Timur serta ajaran kepemimpinan yang baik dari Tanah Air (Subianto, 2023). Dari gabungan elemen-elemen yang baik itu diharapkan muncul “suatu ciri kepemimpinan yang cocok untuk Indonesia.” Lebih lanjut lagi, kepemimpinan itu dibuktikan lewat “pengabdian dan bukan mencari keuntungan pribadi.”
Dalam paparannya di Kementerian Pertahanan, Prabowo Subianto mengatakan esensi sejati dari “kepemimpinan adalah cinta dan kesetiaan kepada bangsa dan negara.” Sehingga tujuan akhir dari kepemimpinan strategis untuk Indonesia—saat ini—adalah mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Selain kepemimpinan strategis, Prabowo Subianto menggarisbawahi pentingnya statecraft atau pengelolaan negara secara terampil. Statecraft mencakup kemampuan untuk merumuskan kebijakan publik yang efektif, mengelola hubungan internasional, dan memastikan stabilitas serta keamanan nasional. Hal yang sama juga dikemukakan oleh beberapa ahli di bidang politik dan manajemen, Weinberg dan Bower, bahwa organisasi yang baik dan sehat adalah organisasi yang memiliki komponen kepemimpinan statecraft (Bower dan Weinberg, 1988). Yang dimaksud dengan statecraft di sini adalah keterampilan yang melibatkan penggunaan persuasi dan otoritas informal untuk menggerakkan koalisi guna mencapai tujuan.
Dengan demikian, pemimpin yang menguasai statecraft mampu mengintegrasikan kebijakan ekonomi, sosial, dan politik untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan. Mereka juga harus memiliki kemampuan diplomatik yang tinggi untuk membangun aliansi internasional yang menguntungkan, serta ketegasan dalam mempertahankan kedaulatan nasional. Dengan kata lain, statecraft adalah seni mengelola negara yang tidak hanya berfokus pada pencapaian tujuan jangka pendek, tetapi juga pada strategi jangka panjang yang memajukan kepentingan nasional.
Kesimpulan
Kepemimpinan strategis dan statecraft adalah elemen kunci dalam mencapai Visi Indonesia Emas 2045. Melalui analisis sejarah dan teori kepemimpinan dari berbagai sudut, kita melihat bahwa keberhasilan atau kegagalan suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas kepemimpinannya. Kepemimpinan strategis yang efektif, sebagaimana diuraikan oleh para ahli seperti Michael E. Porter dan John Adair, melibatkan kemampuan untuk merumuskan visi jangka panjang, mengembangkan strategi yang tepat, dan mengelola perubahan lingkungan dengan adaptif.
Dalam konteks Indonesia, kepemimpinan yang ideal adalah kombinasi dari nilai-nilai terbaik dari kepemimpinan Barat dan Timur yang digabungkan dengan ajaran kepemimpinan dari Indonesia.
Rekomendasi praktis yang muncul dari analisis ini mencakup pengembangan program pelatihan kepemimpinan berkelanjutan yang fokus pada penguatan keterampilan strategis dan statecraft. Pendidikan dan pelatihan yang mendalam tentang diplomasi, pengelolaan ekonomi politik, manajemen krisis, dan kebijakan dalam negeri harus ditargetkan kepada mahasiswa dan pemimpin muda di bawah usia 30 tahun. Dengan demikian, mereka sejak dini telah bersentuhan dan memikirkan tentang statecraft serta masa depan bangsa. Hal ini sejalan dengan gagasan Prabowo Subianto bahwa pemimpin yang brilian akan fokus pada pemberdayaan sumber daya manusia (awak).
Selain itu, penting untuk membina pemimpin yang memiliki integritas tinggi dan komitmen kuat terhadap bangsa, dengan menekankan nilai-nilai pengabdian dan bukan mencari keuntungan pribadi—seperti yang ditekankan oleh Prabowo Subianto. Integritas ini termasuk memerangi korupsi secara tegas dan konsisten, memastikan bahwa setiap kebijakan dan keputusan diambil berdasarkan kepentingan terbaik bangsa, bukan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Implementasi kebijakan seperti hilirisasi yang berhasil dilakukan oleh Presiden Jokowi menunjukkan bagaimana kepemimpinan strategis dan statecraft yang efektif dapat membawa manfaat besar bagi negara. Di sisi lain, kegagalan Enron menegaskan pentingnya integritas dan kejujuran dalam kepemimpinan. Pemimpin bangsa selanjutnya perlu terus mengimplementasikan kepemimpinan strategis dan statecraft yang terampil, berintegritas, dan bebas dari korupsi. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat merealisasikan Visi Indonesia Emas 2045.
Referensi
Adair, J. (2010). Strategic leadership: How to think and plan strategically and provide direction. Kogan Page.
Bower, Joseph Lyon dan Martha Wagner Weinberg. (1988, Januari). Statecraft, Strategy, and Corporate Leadership. California Management Review, 30(2), 39-56.
BnF Archives et Manuscrits. (n.d.). Egyptien 187. Enseignement de Ptahhotep (75-123) [Gambar]. Dikutip dari https://archivesetmanuscrits.bnf.fr/ark:/12148/cc12921q/ca104
Durant, W., & Durant, A. (1968). The lessons of history. Simon & Schuster.
Etymology Online. (t.t.). Strategy. Dikutip dari https://www.etymonline.com/search?q=strategy
Gutenberg. (n.d.). The instructions of Ptah-Hotep and the instruction of Ke’Gemni: The oldest books in the world. Dikutip dari https://www.gutenberg.org/files/30508/30508-h/30508-h.htm#chap02
Jimly, A. (2024). Pemimpin dan kepemimpinan di era globalisasi. Pustaka Nasional.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. (2019). Visi Indonesia 2045: Berdaulat, maju, adil, dan makmur. Dikutip dari https://perpustakaan.bappenas.go.id/e-library/file_upload/koleksi/migrasi-data-publikasi/file/Policy_Paper/Ringkasan%20Eksekutif%20Visi%20Indonesia%202045_Final.pdf
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. (2024). Rancangan akhir RPJN 2025-2045. Dikutip dari https://drive.google.com/file/d/1JSZp1Oz37KWktxi-hi0okVXxEsKuaU-I/view
Achmad, Nirmala Maulana. (2023, Mei 15). 13 tahun lagi bisa jadi negara maju, Jokowi ingatkan masyarakat tak salah pilih. Kontan.co.id. Dikutip dari https://nasional.kontan.co.id/news/13-tahun-lagi-bisa-jadi-negara-maju-jokowi-ingatkan-masyarakat-tak-salah-pilih
Ningtyas, Eka. (2019, April 4). [Fakta atau Hoaks] Benarkah KPK Menyebutkan Pendapatan Negara Bocor Rp 2000 T?. Tempo. Dikutip dari https://cekfakta.tempo.co/fakta/199/fakta-atau-hoaks-benarkah-kpk-menyebutkan-pendapatan-negara-bocor-rp-2000-t
Persada, Syailendra. (2019, April 8). KPK: Kami Tak Pernah Sebut Anggaran Bocor Rp 2.000 Triliun, Tapi. Tempo. Dikutip dari https://nasional.tempo.co/read/1193630/kpk-kami-tak-pernah-sebut-anggaran-bocor-rp-2-000-triliun-tapi
Porter, M. E. (1996, November–December). What is strategy?. Harvard Business Review. Dikutip dari https://hbr.org/1996/11/what-is-strategy
Prentice, W. C. H. (2004, Januari). Understanding leadership. Harvard Business Review. Dikutip dari https://hbr.org/2004/01/understanding-leadership
Schoemaker, P. J. H., Krupp, S., & Howland, S. (2013). Strategic leadership: The essential skills. Harvard Business Review.
Subianto, P. (2022). Paradoks Indonesia dan solusinya. Jakarta: PT. Media Pandu Bangsa.
Subianto, P. (2023). Kepemimpinan militer: Catatan dari pengalaman Jilid 1. Jakarta: PT. Media Pandu Bangsa.
Subianto, P. (2023). Kepemimpinan militer: Catatan dari pengalaman Jilid 2. Jakarta: PT. Media Pandu Bangsa.
Subianto, P. (2023). Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045. Jakarta: PT. Media Pandu Bangsa.
Toynbee, A. (1934). A study of history. Oxford University Press.
Yudhoyono, Susilo Bambang. (2024). Paparan kuliah umum. Universitas Pertahanan.
Yukl, G. (2013). Leadership in organizations. Pearson.