
Saat kuliah, saya pernah mengambil kelas dari Ambassador Richard Butler — mantan Kepala Komisi PBB untuk Senjata Pemusnah Massal.
Dalam kelas itu, beliau menyampaikan tiga aksioma nuklir yang terus terngiang hingga hari ini:
1️⃣ Selama senjata nuklir ada, ia akan digunakan — entah disengaja, entah karena kecelakaan.
2️⃣ Jika digunakan, dampaknya akan menjadi bencana global.
3️⃣ Selama satu negara memilikinya, negara lain akan berusaha memilikinya juga.
Ambassador Butler tidak sedang berteori.
Beliau bicara dari garis depan diplomasi: Irak, Dewan Keamanan PBB, meja perundingan dunia.
Dan hari ini, pelajaran itu bergema lagi — bukan di ruang kuliah, tapi di langit Iran.
Dengan bom. Dengan kemunafikan bersenjata — konon atas nama perdamaian.
Ya, Amerika dan Is***l terus berkhotbah soal bahaya nuklir Iran.
Tapi faktanya:
Amerika memiliki ribuan hulu ledak nuklir.
Is***l tak pernah bergabung dalam traktat anti-nuklir, menolak inspeksi, dan diyakini memiliki puluhan senjata nuklir.
Namun mereka tetap bersikeras: Iran-lah ancamannya.
Ada yang salah dalam moral global kita.
Yang punya senjata — mengintimidasi yang tidak.
Yang menolak diawasi — bicara soal transparansi.
Yang paling bersenjata — paling banyak menuntut.
Ini seperti seseorang menyimpan bom di rumah, lalu menuduh tetangganya berbahaya hanya karena punya korek api.
Ini bukan soal keamanan satu negara saja. Bisa jadi negara lain selanjutnya.
Ini soal siapa yang merasa berhak menghancurkan, dan siapa yang disuruh diam dan terima damai.
Seperti hukum rimba geopolitik yang dicatat Thucydides: “Yang kuat berbuat semaunya, yang lemah menerima nasibnya.”
Jika dunia sungguh ingin bebas dari senjata pemusnah massal, maka yang pertama harus melepaskannya adalah mereka yang sudah memilikinya.
P.S. Pandangan pribadi. Alumni MIIS & pemegang sertifikat Nonproliferation Studies – James Martin CNS.