Hamdan Hamedan| Pemerhati Sosial | Terbit di Majalah Tempo November 2018
Salah satu superioritas manusia atas makhluk lain adalah kemampuannya berbahasa. Bukan berarti makhluk lain tidak bisa, melainkan tingkat kompleksitas bahasa manusia secara fakta jauh melampaui yang lain.
Dalam bukunya Sapiens, sejarawan Yuval Noah Harari menjelaskan bahwa semut dapat mengomunikasikan lokasi gula dan monyet dapat memberi tahu kawannya jika ada bahaya. Akan tetapi hanya manusia yang dapat menciptakan beragam kalimat kompleks dan koheren yang memberikan mereka keunggulan tidak hanya dalam mempertahankan hidup tetapi juga dalam mengomunikasikan sesuatu yang abstrak dan fiktif.
“Sepupu” kita Homo Neanderthal memang mempunyai volume otot dan otak yang lebih besar, tapi mereka tak mahir berbahasa seperti kita. Keunggulan berbahasa inilah memungkinkan Homo Sapiens berburu dengan koordinasi dan strategi dalam sebuah grup. Oleh karenanya, tidaklah aneh jika kita lah yang menjadi apex predator dan menyabet gelar makhluk termaut di muka bumi meski tak sekuat gajah, segesit citah, atau sebuas singa.
Kemampuan berbahasa tentunya bagai pisau bermata dua. Di satu sisi memungkinkan pertukaran ilmu dan budaya, membuka jalur perdagangan, dan menciptakan peradaban. Di sisi lain, memungkinkan kita menyusun narasi kebohongan yang bertujuan untuk menindas, menyerang, dan melakukan kekejaman lainnya. Dengan propaganda bertubi-tubi, sebagian besar warga Korea Utara, misalnya, dipaksa percaya bahwa mereka tinggal di negeri terbaik dengan pemimpin yang sempurna. Padahal tidak sedikit warganya yang meregang nyawa dan tewas karena siklus kelaparan. Bahasa pun dijadikan alat penipuan, pembenaran, dan, akhirnya, penindasan. “Kediktatoran totaliter” disebut “republik demokratis”, “kelaparan” disebut “perjuangan”, dan “perbudakan” disebut “kebebasan”, ujar Masaji Ishikawa, seorang pembelot Korea Utara dalam bukunya A River in Darkness.
Namun hal ini jauh lebih “ringan” jika dibandingkan dengan beragam kebohongan dan permainan bahasa yang dilakukan guna menjustifikasi agresi dan peperangan. Masih segar di ingatan kita bagaimana negara adidaya Amerika Serikat (AS) berbohong tentang senjata pemusnah massal yang dituding dimiliki oleh Irak sebagai alasan untuk memulai perang (casus belli). Ketika dunia internasional skeptis, para petinggi AS menciptakan kebohongan baru dengan mengatakan bahwa perang ini untuk menjadikan “Irak mercusuar demokrasi di Timur Tengah”, “menumbuhkan perdamaian di Timur Tengah”, bahkan perang Irak sendiri “bersifat preemtif” dan “akan berlangsung singkat” karena penduduknya memandang tentara AS sebagai “pembebas”. 15 tahun, 935 pernyataan yang salah (baca: dusta), dan 2 triliun dolar kemudian, lebih dari 600,000 nyawa penduduk sipil melayang—kurang lebih sebesar jumlah penduduk ibukota AS sendiri, Washington D.C. Terasa sekali kebenaran ucapan penyair Yunani Aeschylus, “Dalam perang, kebenaran adalah korban pertama.”
Dalam penindasan dan peperangan, permainan bahasa diperlukan guna memudahkan proses penganiayaan dan pembunuhan. Oleh karenanya perlu sebuah proses yang disebut dehumanisasi. Menurut jurnalis perang Chris Hedges dalam bukunya War Is a Force That Gives Us Meaning, dehumanisasi bukan hanya sebatas proses meniadakan kemanusiaan seseorang atau menyamakannya dengan binatang, tetapi mencakup juga proses dikotomi antara “pasukan kebaikan” dan “pasukan kejahatan”. Ketika para prajurit sudah dicekoki dengan bahasa-bahasa dehumanisasi terhadap “musuh”, maka mereka pun bisa dengan entengnya menekan tombol untuk melepaskan gas beracun di ruang tahanan Auschwitz, menebas leher manusia di Mako Brimob, atau melepaskan tembakan ke ratusan musuh di Ramadi. Sebab “musuh” bukan lagi manusia, melainkan “babi”, “thaghut”, dan “binatang buas”.
Pengakuan Chris Kyle, penembak jitu Navy Seal (AS) termaut, memvalidasi fenomena dehumanisasi ini. Ketika ditanya apakah ia menyesal telah membunuh lebih dari 160 musuh di Irak, Chris Kyle mengatakan “tidak sama sekali” sebab “mereka-mereka” bukanlah manusia (seutuhnya) melainkan “barbarian” dan “binatang buas”.
Era post-truth saat ini celakanya justru menyuburkan hoaks, menawarkan “fakta alternatif”, dan melahirkan manusia kebal fakta. Kebohongan “kecil” seperti “bumi itu datar” mungkin tidak berakibat fatal. Namun kebohongan-kebohongan besar seperti “semakin banyak pistol (atau nuklir), semakin aman dunia ini” dan yang terparah, “pemanasan global hanyalah fiksi”, pasti berakibat fatal. Amat ironis (dan sedikit puitis) jika kemampuan berbahasa yang menjadikan manusia superior justru akan menamatkannya.