
Cara kita memahami komunikasi presiden selama ini banyak dipengaruhi oleh konsep rhetorical presidency. Dalam kerangka ini, presiden dipandang sebagai figur yang berbicara langsung kepada rakyat melalui pidato-pidato besar, dengan harapan mampu membentuk opini publik dan menggerakkan arah politik nasional. Model ini lahir pada masa ketika publik relatif homogen dan media nasional bersifat terpusat.
Artikel akademik berjudul The Ubiquitous Presidency: Toward a New Paradigm for Studying Presidential Communication karya Joshua M. Scacco dan Kevin Coe yang terbit di International Journal of Communication tahun 2016 mengajak pembaca untuk meninjau ulang asumsi tersebut. Menurut artikel ini, konteks sosial dan media yang melahirkan rhetorical presidency telah berubah. Polarisasi politik meningkat, masyarakat semakin beragam, dan lanskap media terfragmentasi oleh televisi kabel, internet, dan media sosial.
Temuan George C. Edwards III (2003), menunjukkan bahwa presiden modern jarang mampu menggeser opini publik secara luas. Bahkan pidato sebesar State of the Union sering tidak menghasilkan perubahan sikap yang signifikan. Publik kini menyaring informasi secara selektif dan cenderung melalui lensa partisan.
Artikel ini juga menegaskan bahwa komunikasi presiden tidak lagi berlangsung satu arah. Pesan presiden kini beredar di ruang publik yang terbuka untuk penafsiran, perdebatan, dan permainan ulang oleh media, elite politik, serta warga. Dalam ekosistem digital, pesan presiden hidup di luar kendali sepihak institusi kepresidenan.
Untuk menjelaskan perubahan tersebut, Scacco dan Coe memperkenalkan konsep ubiquitous presidency. Kepresidenan tidak lagi terutama hadir melalui satu momen pidato formal, tetapi melalui kehadiran yang nyaris terus-menerus di berbagai ruang komunikasi, termasuk media hiburan, budaya populer, dan platform digital.
Konsep ubiquitous presidency dibangun di atas tiga ciri utama. Pertama, accessible, yakni upaya presiden menjangkau publik melalui berbagai medium dan ruang nonpolitik. Kedua, personal, dengan persona presiden yang lebih informal dan relasional. Hal ini tercermin, antara lain, dari analisis 9.967 tweet akun @WhiteHouse pada periode 2009–2015, yang menunjukkan pola komunikasi interaktif. Ketiga, pluralistic, di mana komunikasi presiden mengakui bahwa publik bukan satu kesatuan tunggal, melainkan terdiri dari beragam kelompok sosial, agama, dan identitas.
Melalui artikel ini, Scacco dan Coe sampai pada kesimpulan yang jelas. Untuk memahami komunikasi dan kekuasaan presiden di abad ke-21, pendekatan lama yang bertumpu pada pidato dan persuasi massal tidak lagi mencukupi. Kepresidenan kini bekerja melalui visibilitas yang berkelanjutan, personalisasi pesan, dan interaksi dalam ruang media yang terfragmentasi. Pergeseran inilah yang mereka rumuskan sebagai ubiquitous presidency.







