Tekan ESC untuk keluar

Sepiring Makanan, Segelas Harapan

“Sulit bagiku untuk konsentrasi belajar di kelas dengan perut yang lapar,” ujar Remaz, seorang murid kelas lima SD di Sudan. “Program pemberian makan di sekolah membuatku lebih bersemangat untuk sekolah dan menghemat uang keluarga,” pungkasnya.

Dikenal sebagai School Meal Program, inisiatif ini telah menjadi andalan di banyak negara.

Menurut data terkini, 58% murid di seluruh dunia, atau sekitar 418 juta anak di lebih dari 76 negara, telah merasakan manfaatnya.

Dari Amerika Serikat hingga Argentina, dari Rwanda hingga negara tetangga seperti Thailand, dampaknya merata.

Program ini terbukti tak hanya meningkatkan kehadiran dan mengurangi angka bolos/putus sekolah, tapi juga meningkatkan kesehatan dan prestasi akademis murid, serta mengurangi beban ekonomi keluarga.

Sebuah penelitian berjudul “Makan di Sekolah dan Pencapaian Pendidikan: Bukti dari Program Makan Siang di India” menemukan bahwa murid yang mendapatkan makan siang selama 5 tahun memiliki skor bacaan 18% lebih tinggi daripada mereka yang kurang dari 1 tahun.

Untuk matematika, ada peningkatan sekitar 9%.

Studi ini penting karena merupakan studi yang terpanjang dan terbesar mengenai dampak makan siang terhadap siswa sekolah dasar.

Data yang dikumpulkan tidak main-main: dari 600 distrik pedesaan di India, melibatkan lebih dari 200.000 keluarga.

“Efek nutrisi tampaknya bersifat kumulatif, semakin terlihat seiring waktu,” kata Profesor Jayaraman, salah satu peneliti.

Lebih dari itu, program ini mempunyai dampak antargenerasi.

Maksudnya: program ini tidak hanya memberi manfaat langsung kepada anak-anak, tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan fisik KETURUNAN mereka, mengatasi masalah kronis seperti stunting yang berdampak pada generasi berikutnya.

Program makan siang gratis di sekolah bukan hanya soal menyediakan makanan. Ini tentang membangun masa depan yang lebih cerah.

Dengan asupan gizi yang memadai, kita tidak hanya memberi makan tubuh, tetapi juga menyiapkan pikiran yang sehat untuk belajar dan berkembang.

Di dalam sepiring makan siang, terdapat harapan dan investasi jangka panjang untuk generasi emas di masa mendatang.

Bagaimana menurutmu?

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩