Masih terngiang kekalahan di Pertemupuran Hattin, ksatria Balian dari Ibelin, mengajukan permohonan yang “di luar nurul” kepada lawannya, Sultan Salahuddin.
Balian memohon izin kepada Salahuddin untuk mengambil kembali bagian jiwanya yang tertinggal: istri dan anaknya di Yerusalem.
Situasi ini terbungkus dalam aura yang absurd – dua ksatria dalam pertempuran, tapi masih terikat oleh kode kehormatan yang mendalam (chivalric code).
Terkenal akan kemurahatian dan keksatriannya, Salahudin yang saat itu bersiap merebut Yerusalem mengiyakan permintaan Balian—dengan syarat.
Syaratnya: Balian harus bersumpah tidak akan lagi mengangkat senjata melawan Salahuddin. Dan misinya hanyalah untuk membawa pulang anak-istrinya dengan selamat.
Balian setuju.
Namun, ketika sampai di Yerusalem, Balian dihadapkan pada permintaan yang tak terduga – para pemimpin kota memohon kepadanya untuk memimpin pertahanan melawan serbuan Salahuddin yang sudah di ambang pintu.
Setelah melakukan ritual batal sumpah, Balian naik panggung sebagai pemimpin pertahanan kota. Tapi ia kembali mengalami kekalahan di tangan Salahuddin.
Dengan hati yang gundah, Balian menunggu hukuman mati. Bayangan pembantaian terhadap kaumnya pun menghantui pikirannya.
Namun, lagi-lagi, Salahuddin menunjukkan keksatriannya.
“Engkau telah menunjukkan keberanianmu, Balian,” ujar Salahuddin. “Sekarang, aku akan menunjukkan belas kasihku.”
Keesokan harinya Balian dan keluarganya pamit pada Salahuddin. Dengan ramah, sang Sultan lalu memerintahkan agar mereka diberi makan, jubah, dan perhiasan. Dengan penuh kasih, Salahuddin memeluk kedua anak Balian, menempatkan satu di setiap lututnya.
Sejarah mencatat Salahuddin memasuki kota Yerusalem bukan sebagai algojo, tapi sebagai pemenang yang membawa pesan perdamaian dan pengampunan.
Sang Sultan seakan mengingatkan kita bahwa kemanusiaan bisa mekar di tengah reruntuhan perang sekalipun—sesuatu yang sayangnya jarang kita temui di era yang katanya “modern” dan “humanis” ini.