Tekan ESC untuk keluar

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)

“Awalnya saya ke Indonesia hanya untuk bertemu dengan Presiden @jokowi dan Ibu Menlu @retno_marsudi ,” ungkap Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) H.E. Hissein Brahim Taha. “Namun, saya mendapat laporan penyelenggaraan Cultural Activity OKI di Kaltim dan Jakarta yang sangat baik yang dipimpin oleh Kemenpora. Sehingga saya pun datang untuk bertemu dengan Menpora dan menyampaikan rasa terima kasih saya secara langsung.”

Tujuan Kemenpora terkait acara OKI sederhana: Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sudah saatnya Indonesia mengambil peranan yang lebih penting lagi. Peranan yang mengayomi, peranan yang memberi contoh, sesuai amanat konstitusi.

Bahwa dengan kekayaan budaya yang kaya dan tak terhingga, Indonesia dapat menunjukkan bagaimana budaya bukan pemisah tapi justru perekat bangsa. Bahwa perbedaan agama bukanlah penghalang dalam menciptakan peradaban unggul yang berketuhanan Yang Maha Esa.

Nyatanya, sejarah Islam juga punya (banyak) contoh nyata yang bisa dijadikan referensi.

Dalam bukunya The Ornament of the World, María Rosa Menocal menceritakan suatu masa di Andalusia, Spanyol, di mana Muslim, Nasrani, dan Yahudi membentuk peradaban unggul dan berwarna. Cordoba, ibukotanya saat itu, menjadi kota paling maju di Eropa, sebuah pusat ilmu pengetahuan, budaya, dan filsafat yang menyinari seluruh dunia.

Kini, saatnya Indonesia, dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika-nya, juga memberi contoh pada dunia.

“Saya menunggu kedatangan Bapak Menteri di kantor kami di Jedah,” ujar H.E. Hissein Brahim Tahai. “Saya dengan senang hati mengajak Bapak Menteri ke negara-negara OKI lainnya dan bersama kita mendorong olahraga sebagai perekat antar negara dan pemuda sebagai penggeraknya.”

P.S. Penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh jajaran Kemenpora yang telah sukses menyelenggarakan acara Cultural Activity OKI di Kaltim dan Jakarta dengan luar biasa.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩