Tekan ESC untuk keluar

Seleksi Talenta Muda Pesepak Bola Indonesia

Terik mentari terasa menyengat pagi itu di stadion Si Jalak Harupat. Namun tak sedikit pun itu mengendurkan semangat.

Dengan mata berbinar, para pesepakbola muda se-Jawa Barat perlahan datang dengan kedua tangannya.

Satu tangan menggenggam sepatu bolanya, sedangkan tangan yang lain erat menggenggam mimpi. Mimpi bermain di panggung dunia—Piala Dunia U-17 2023.

Di lapangan hijau, sekujur tubuh boleh bermandikan keringat, tapi semangat tarung harus melekat. Di bawah pengawasan saksama Coach Bima dan Coah Indra, mereka berupaya memanifestasikan tajinya.

Dalam sepakbola, hanya kedua kaki yang bisa berbicara dan bercerita. Tak hanya itu, ia juga mampu menari dan memicu imajinasi.

Sesekali semilir angin dingin membasuh keringat yang melekat. Memberi kelegaan sesaat disusul kemeriahan yang datang tiba-tiba.

Ada apa di pagi itu?

Ada tamu spesial. Presiden Joko Widodo dan segenap pejabat hadir, memantau, memberi semangat. Kehadirannya menjadi motivasi bagi 187 pemain yang diseleksi.

Para calon Garuda muda ini tahu, mimpi mereka bukanlah mimpi mereka saja. Tapi juga mimpi jutaan rakyat Indonesia. Mimpi kita semua.

Ya, jutaan anak bangsa boleh dan harus terus bermimpi, karena sepakbola lebih dari sekadar permainan.

Ia tentang kehormatan, tentang mimpi yang besar, dan harapan bangsa di pundak pemain muda yang akan berlaga.

Selamat berjuang, calon Garuda muda. Saatnya kamu terbang, melesat ke langit, membawa harapan, dan mengukir kemenangan.

P.S. Kami terus mendata atlet diaspora lintas cabang olaharaga. Punya info relevan? Please send me an email at [email protected]

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩