Tekan ESC untuk keluar

HUMOR SUFI: KAMU TIDAK TAHU SIAPA SAYA?

Nasruddin pernah bertugas sebagai prajurit di sebuah benteng. Suatu malam, ia piket menjaga salah satu menara di benteng tersebut bersama dengan para prajurit lain.
Malam itu, cuaca begitu dingin dan kabut begitu pekat. Nasruddin mendadak ingin buang air kecil, tapi ia malas menuruni ratusan anak tangga untuk ke kamar kecil.
“Malam ini kabut begitu pekat. Kalau toh aku kencing dari atas menara, tidak ada yang bisa melihatku,” gumam Nasruddin dalam hati.
Saat sendirian, ia pun membuka resletingnya dan mulai buang air kecil dari atas menara yang tertutup kabut. Selang beberapa detik, terdengar suara teriakan dari bawah. Rupanya Jenderal Aziz sedang melakukan inspeksi mendadak dan terkena cipratan air seni Nasruddin.
“Woy! Air dari mana nih?” teriak Jenderal Aziz sambil mengelap wajahnya yang basah.
“Maaf, aku kebelet dan terpaksa buang air kecil dari atas,” sahut Nasruddin.
“Hah, ini air kencing! Kurang ajar sekali kamu. Tahukah kamu siapa saya?” amuk tanya Jenderal Aziz.
Nasruddin betul-betul tidak tahu siapa lawan bicaranya. Jangankan itu, melihat lawan bicaranya saja tidak bisa—saking pekatnya kabut malam itu. Ia pun akhirnya bertanya.
“Memangnya kamu siapa?” tanya Nasruddin.
“Saya ini Jenderal Aziz, pemimpin tertinggi militer,” teriak sang jenderal dari bawah tanpa bisa melihat Nasruddin.
Nasruddin pun pucat pasi. Jenderal Aziz memang terkenal kejam. Dia pernah melempar anak buahnya ke kandang macan karena salah pakai seragam.
Beberapa lama kemudian, Nasruddin menjadi agak tenang karena ia sadar bahwa setidaknya sang jenderal tak bisa melihatnya, apalagi mengenalinya.
“Siap, Jenderal,” balas Nasruddin. “Tapi tahukah Jenderal siapa saya?”
“Tidak tahu,” teriak Jenderal Aziz polos.
“Oh, alhamdulilah, kalau begitu,” jawab Nasruddin lega sambil kabur dari tempat kejadian.
~ Jika seseorang perlu menjelaskan nasab keluarganya untuk memukau manusia, ketahuilah dia bukan siapa-siapa.
@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩