Dulu waktu saya kecil, saya pernah ikut menshalatkan, mengantarkan, dan menguburkan jenazah kerabat saya. Suasana begitu haru sehingga banyak dari pihak keluarga, termasuk saya, ikut larut dalam tangisan.
Sepulangnya dari kuburan, saya tak menyangka ada seorang kerabat saya (yang lain) malah menjelek-jelekan jenazah yang baru saja kami kuburkan bersama-sama.
Kuburan masih basah, tangis belum reda, sisa tanah kuburan pun masih lekat di pakaian dan di kuku-kuku jari tangan, tapi ia malah lancang membuka aib sang jenazah.
Saya tidak habis pikir dan melirik ke ayah saya. Berharap jawaban atau respons apa pun dari beliau. Namun, beliau memilih diam. Mungkin adab yang buruk memang tak pantas diladeni.
Namun, ada yang salah di sini; ada pelanggaran adab di sini apa pun istilahnya.
Saya ingin merespons; saya ingin membela jenazah yang kini sudah tak bisa bersuara dan membela dirinya. Tapi apa daya, ilmu tak seberapa, dalil tak punya, serta artikulasi yang masih terbata-bata. Di siang kelabu itu, saya memilih (dan terpaksa) diam karena tak punya ilmu.
Namun kini saya tak bisa dan tak patut diam ketika membaca umpatan terhadap seorang ustadz yang baru-baru ini meninggal.
Terlepas suka atau tidak suka, beliau sudah tiada; suka tidak suka, beliau sedang mengadap Rabb-Nya; suka tidak suka, hormati beliau dan keluarganya.
Bagi yang sedang mencari dalilnya seperti saya waktu kecil, berikut adalah dalil Islami dan sekularnya:
Pernah suatu ketika seseorang menjelekkan saudaranya yang sudah wafat di hadapan Rasulullah, beliau ﷺ pun bersabda, “Janganlah kalian berbicara tentang yang sudah meninggal kecuali kebaikan” (HR. Nasa’i no. 1935; sahih).
Atau pepatah latinnya, “De mortuis nil nisi bonum” (tentang orang-orang yang sudah meninggal, tiada lain kata-kata baik).
Andai saja saya tahu hal ini 25 tahun yang lalu. Dan Al-Fatihah untuk beliau-beliau.