Tekan ESC untuk keluar

DUEL DUA BIRU: BIRU HITAM VS BIRU LANGIT

“Manchester City nyaris punya segalanya kecuali Trofi Liga Champions,” ujar pundit sepakbola usai @mancity sukses menyabet double musim ini.

Betul juga, City memang punya segalanya: dari pelatih terbaik, pemain tergacor, fasilitas termewah, hingga pemilik klub terkaya di Tata Surya.

Yang belum mereka miliki—walau telah menggelontorkan lebih dari £1 miliar sejak Pep masuk—adalah pengakuan sejarah sebagai salah satu klub elit di Eropa.

Sepertinya, pengakuan itu hanya bisa didapat dengan mengangkat trofi paling elit di Eropa: Trofi Liga Champions. Dan City kini punya kans besar meraih itu untuk kali pertama di Istanbul besok.

Di atas kertas, City unggul lawan Inter di final nanti. Begitu banyak firepower yang dimiliki City. Terutama, Haaland, si Mesin Gol yang sudah mengoleksi 50 gol lebih.

Jika Haaland berhasil diredam, Alvarez, Mahrez, Foden, De Bruyne, Silva, dan Gundogan berpotensi merajalela. Hampir tidak ada obatnya.

Jadi, City hanya perlu bermain cantik seperti biasa, niscaya juara.

Tapi untuk @inter beda cerita. Mereka harus bermain sempurna: rapi di belakang, kombatif di tengah, klinis di depan.

Untungnya, akhir-akhir ini begitulah tim besutan Simone Inzaghi bermain.

Dengan formasi 3-5-2, hybrid pressing, dan counter-attack, Inzaghi berhasil meloloskan Inter hingga ke final. Mengejutkan semua, termasuk saya.

Untungnya pula, final hanya satu kali. Faktor hoki dan motivasi bisa berperan banyak di sini.

Setidaknya Hakan yang asal Turki menjadi lebih termotivasi untuk menang di negerinya sendiri.

Dzeko mungkin ngebet “balas dendam” dengan klub lamanya.

Darmian mungkin juga ingin membalas kekalahan klub lamanya, Man Utd, di FA Cup minggu lalu.

Bagi Inzaghi, ini adalah cup final ke-9 baginya. Di 8 cup sebelumnya ia hanya kalah 1 kali dan memang 7 kali berturut-turut. Tak aneh, banyak yang menjulukinya Cup Final Specialist.

Apa pun itu, thank you Mr. Inzaghi for taking us this far! Forza Inter!

P.S. Banyak jalan bagi City untuk menang ketimbang Inter, maka semoga Lautaro “kesurupan” Milito dan Lukaku Eto’o.

P.P.S. Picture taken and modified from Avengers, dm for removal

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩