Tekan ESC untuk keluar

PEDANG DAMOCLES

Di suatu masa, hiduplah seorang pelayan istana bernama Damocles. Ia selalu terpukau oleh kehidupan Raja Dionysius yang glamor, diliputi kemewahan, kenikmatan, dan kekuasaan.

Setiap hari, Damocles membayangkan betapa nikmatnya menjadi seorang raja: menikmati makanan lezat, memiliki harta berlimpah, dan dihormati semua orang.

Raja Dionysius menyadari betapa pelayannya “ngences” ingin menjadi raja.

Suatu hari, Raja Dionysius menawarkan sebuah kesempatan yang tak pernah terbayangkan oleh sang pelayan.

“Jika kamu begitu ingin tahu rasanya menjadi raja,” kata Raja Dionysius, “maka sekarang juga silakan duduk di takhtaku dan menikmati semua yang kumiliki.”

Dengan penuh antusiasme, Damocles menerima tawaran itu.

Ia pun duduk di takhta emas, dikelilingi oleh kekayaan yang tak pernah ia impikan sebelumnya. Para pelayan istana menghidangkan makanan terbaik, dan seluruh perhatian tertuju padanya.

Damocles merasa di langit ketujuh.

Namun, ketika ia mendongak, ia melihat sesuatu yang mengagetkannya—sebilah pedang tajam, hanya ditopang oleh seutas rambut yang tipis, tergantung tepat di atas kepalanya.

Pedang itu terus mengikutinya dan bisa jatuh kapan saja, membelah kepalanya menjadi dua. 

Setiap gigitan makanan terenak, setiap detik di ranjang terempuk, kini terasa dalam cekaman berbahaya. 

Euforia Damocles pun berubah menjadi kekhawatiran dan ketakutan.

Kisah Pedang Damocles mengingatkan kita bahwa di balik gemerlapnya kekuasaan, ada tekanan, bahkan ancaman yang selalu mengintai di setiap tikungan.  

Seperti pedang yang menggantung di atas kepala Damocles, kekuasaan selalu membawa risiko yang tidak kasat mata, tapi sangat amat nyata adanya.

~ Uneasy lies the head that wears a crown (William Shakespeare)

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩