Tekan ESC untuk keluar

Diaspora Jawa Berkumpul di Yogyakarta untuk Melestarikan Budaya Leluhur

Yogyakarta – Yogyakarta baru-baru ini menjadi tuan rumah pertemuan besar bagi diaspora Jawa, yaitu keturunan Jawa yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara dan dunia. Acara ini berlangsung di Benteng Vredeburg dan dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai negara, termasuk Suriname, Belanda, Malaysia, Singapura, dan Kaledonia Baru. Pertemuan ini merupakan bagian dari kegiatan Javanese Diaspora Event (JDE) III, yang kali ini dinilai sebagai yang paling lengkap dibandingkan dengan penyelenggaraan sebelumnya.

Menurut Singgih Rachmawan, yang bertanggung jawab atas Seksi Program JDE III, acara ini dirancang selama satu minggu penuh, di mana para peserta tidak hanya menghadiri seminar dan belajar bahasa Jawa, tetapi juga terlibat dalam berbagai kegiatan budaya lainnya. Mereka juga diberi kesempatan untuk merasakan pengalaman makan malam bersama raja keraton Yogyakarta, serta menikmati kuliner khas Jawa. Singgih menegaskan bahwa tujuan utama dari acara ini adalah untuk mempererat tali silaturahmi di antara sesama keturunan Jawa, sambil menjaga agar identitas budaya Jawa tetap lestari di tengah kemajuan zaman.

Tema yang diusung dalam pertemuan ini, “Ngumpulke Balung Pisah,” mencerminkan harapan untuk menyatukan kembali saudara-saudara yang terpisah oleh jarak dan waktu. Melalui kegiatan ini, para penyelenggara berharap dapat menginspirasi terciptanya dokumentasi atau film yang menceritakan perjalanan dan pengalaman para keturunan Jawa di luar negeri. Singgih mencontohkan film “Jaji,” yang diproduksi oleh keturunan Jawa di Suriname, sebagai salah satu contoh karya yang dihasilkan dari semangat melestarikan budaya ini. Film tersebut menggambarkan bagaimana keturunan Jawa di Suriname tetap menjaga nilai-nilai budaya mereka, meski telah melewati perjalanan panjang yang penuh tantangan.

Singgih juga menyatakan bahwa meskipun orang Jawa yang tinggal di luar negeri telah berhasil menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, mereka tetap mempertahankan akar budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa dari mereka bahkan telah menjadi tokoh penting di negara tempat mereka tinggal. Misalnya, di Malaysia, banyak orang Jawa yang masih fasih berbahasa Jawa, termasuk Wakil Perdana Menteri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, yang asalnya dari Wates, Kulonprogo, dan dikenal dengan kemampuan bahasa Jawa-nya yang halus.

“Secara keseluruhan tujuan kami untuk silaturahmi dalam rangka uri-uri budaya Jawa, tapi ke depan agar masyarakat Jawa tetap memegang identitasnya demi kemajuan ini.” ucap Singgih.

Mariette Karsinem Mingoen, salah satu peserta yang berasal dari Suriname, menyatakan kegembiraannya bisa menghadiri acara ini. Ia berharap agar hubungan erat dengan leluhur tetap terjaga meskipun berada di luar negeri. Mariette adalah generasi ketiga dari keturunan Jawa yang pertama kali datang ke Suriname. Ia menceritakan bahwa keluarganya harus menghadapi banyak tantangan saat memulai kehidupan baru di Suriname. Sebagai seorang yang lahir pada tahun 1954, ia menyaksikan bagaimana orang Jawa di Suriname berjuang keras di perkebunan jeruk dan kopi, sebelum akhirnya banyak dari mereka yang berpindah ke kota Paramaribo setelah Perang Dunia II.

Menurut Mariette, generasi muda Jawa di Suriname kini telah maju, dengan banyak dari mereka yang mendapatkan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Generasi muda ini mulai memainkan peran penting dalam berbagai bidang di Suriname, baik di sektor ekonomi maupun politik. Meskipun demikian, Mariette menyadari bahwa kebudayaan Jawa di Suriname mulai mengalami pelunturan, dengan anak-anak muda yang lebih sering menggunakan bahasa Belanda atau bahasa setempat daripada bahasa Jawa. Namun, ia tetap optimis bahwa generasi muda masih memahami dan menghargai akar budaya Jawa yang dimiliki.

“Sekarang di Suriname sudah maju, lebih maju dari tahun 60-an. Banyak yang sudah masuk universitas. Lebih banyak yang perempuan,”ungkapnya.

Berbeda dengan Suriname, Ivone Poniyem, keturunan Jawa yang tinggal di Belanda, mengungkapkan bahwa di Belanda, kesenian dan kebudayaan Jawa masih terpelihara dengan baik. Ia menilai bahwa keberadaan komunitas Jawa di Belanda telah berhasil menjaga warisan budaya mereka, meskipun berada di negara asing.

Dengan adanya pertemuan seperti ini, diharapkan semangat untuk melestarikan budaya Jawa akan terus hidup, meski generasi keturunan Jawa tersebar di berbagai penjuru dunia.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩