Tekan ESC untuk keluar

PURA-PURA SI RAJA LABA-LABA

Selain dikenal karena kebijaksanaannya, Raja Louis XI dari Prancis juga terkenal akan kelicinan dan intrik politiknya.

Para musuhnya bahkan menjulukinya “Raja Laba-Laba” karena caranya memperluas kekuasaan dengan jaringan intrik dan diplomasi yang rumit—mirip laba-laba yang menenun jaring untuk menangkap mangsanya.

Salah satu cara sang raja untuk mengecoh dan menjebak mangsanya adalah dengan sandiwara dan seni kepura-puraan. 

Konon, dalam suatu kesempatan, ia mencibir orang yang polos dan tak lihai memakai topeng politik. 

Sang Raja Laba-Laba berujar, “Dia yang tak tahu caranya berpura-pura, tidak dapat memerintah.”

Namun, seperti jaring laba-laba yang halus namun rapuh, intrik politik dan kepura-puraan tak selamanya bertahan. 

Ada masa di mana tipu daya akan terbongkar, dan musuh yang terus-menerus dijebak akan semakin waspada. 

Kelicikan Louis XI yang konsisten akhirnya memicu lawan-lawannya untuk bersatu dalam sebuah koalisi besar bernama League of the Public Weal. 

Mereka, yang biasanya terpecah belah, kini bersatu menghadapi sang Raja Laba-Laba.

Pada akhirnya, Louis XI dipaksa untuk membuat konsesi besar—sebuah pengingat bahwa dalam politik, sekalipun kelicikan dapat membawa kemenangan, kebenaran yang terungkap akan menuntut harga yang mahal. 

Ya, kepura-puraan seringkali berhasil dalam jangka pendek. Namun, untuk mempertahankan kekuasaan yang langgeng, dibutuhkan integritas dan kejujuran sebagai fondasinya.

Sebab tipu daya dan pura-pura punya tanggal kadaluarsa. Seperti kata Presiden Abraham Lincoln, “Kamu bisa saja menipu semua orang untuk beberapa saat, dan sebagian orang untuk selamanya, tapi kamu tidak bisa menipu semua orang selamanya.” 

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩