Tekan ESC untuk keluar

ATLET ELITE DAN OLYMPIAN

Menjadi atlet elite atau Olympian boleh jadi adalah impian banyak orang, termasuk para orang tua.

Maklum, para Olympian adalah kelompok manusia yang amat langka dan elite karena prestasi mereka.

Dari 8 miliar manusia di bumi, hanya sekitar 11.000 atlet yang berpartisipasi dalam Olimpiade kali ini.

Berarti peluang menjadi seorang Olympian adalah sekitar 0,00014% atau 1 dari 727.000 orang. Ini lebih langka daripada kemungkinan seseorang tersambar petir sepanjang hidupnya

Nah, untuk mencetak manusia elite ini, apakah lebih baik fokus pada spesialisasi sejak dini atau bermain banyak olahraga?

Spesialisasi atau fokus dengan satu olahraga sejak dini memungkinkan seseorang untuk “curi start” dan mengakumulasi ribuan jam deliberate practice guna menjadi atlet elite.

Michael Phelps, Olympian dengan rekor 23 medali emas, memulai latihan berenang sejak usia 7 tahun dan rutin berenang sejauh 160 km per minggu saat masih remaja.

Ya, menjadi atlet elite memang butuh waktu dan dedikasi tinggi. There are no shortcuts to success.

Juara senam artistik Olimpiade, misalnya, butuh rata-rata 9,7 tahun persiapan khusus dan 8918 jam pelatihan khusus.

Begitu pula bagi para atlet yang fokus pada endurance, power, dan combat sports. Mereka butuh setidaknya 4-7 ribu jam berlatih khusus guna menjadi atlet kelas dunia.

Prinsip 10 ribu jam sepertinya menemukan relevansinya di sini, tapi memang berbeda dari satu olahraga ke olahraga lain.

Namun, spesialisasi dini bukan tanpa risiko. Ada risiko cedera overuse dan burnout (Güllich et al., 2020). Atlet yang fokus pada satu olahraga memiliki risiko cedera lebih tinggi dibandingkan dengan yang bermain banyak olahraga.

Misalnya, risiko cedera pada bagian depan lutut 1,5 kali lebih tinggi, dan risiko masalah pada tendon lutut serta penyakit lutut lainnya 4 kali lebih tinggi ketimbang atlet (muda) yang bermain banyak olahraga. Hal ini terlebih lagi dalam olahraga tarung seperti gulat.

Lalu, apakah data menunjukkan bahwa lebih banyak atlet Olimpiade yang berspesialisasi sejak dini atau bermain banyak olahraga?

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩