Setiap bulan Desember media sosial selalu ramai dengan perdebatan seputar Hari Natal dan tahun baru. Umat Islam, khususnya di Indonesia, selalu membahas boleh tidaknya mengucapkan selamat natal, hukum jual-beli peralatan natal, sampai merayakan tahun baru.
Harapan kami semoga tulisan ini bisa menjadi salah satu rujukan Sahabat KESAN dalam bersikap sebagai seorang muslim menghadapi persoalan seputar natal dan tahun baru. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini disusun oleh Dr. Ali Nurdin, M.A., Kiai Muhammad Hamdi, dan redaksi KESAN.
Bolehkah mengucapkan selamat natal?
25 Desember diperingati umat Kristiani sebagai Hari Natal yaitu lahirnya Yesus Kristus atau, dalam Islam, Nabi Isa as. Adapun hukum mengucapkan selamat Natal ada perbedaan pendapat, antara yang melarang dan membolehkan.
Para ulama yang melarang ucapan selamat Natal memberikan dua alasan. Pertama, itu adalah kesaksian palsu atas keyakinan umat Kristiani yang menganggap Nabi Isa as. sebagai Tuhan dan membenarkan kelahirannya pada tanggal 25 Desember.
Argumen ini didasarkan pada firman Allah:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا ۷۲
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya (QS. Al-Furqan [25]: 72).
Sebagian ulama tafsir dari golongan Tabiin, seperti Abu Al-‘Aliyah, Thawus, dan Ibnu Sirin, serta satu riwayat dari Sahabat Ibnu Abbas ra. mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “persaksian palsu” pada ayat di atas adalah hari-hari raya orang-orang musyrik.
Kedua, mengucapkan Natal dianggap perbuatan menyerupai umat Kristiani, yang mana dilarang dalam hadis:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan kaum tersebut (HR. Abu Dawud no. 4031).
Sementara itu, sebagian ulama membolehkan umat muslim untuk mengucapkan selamat Natal sebagai bentuk berkata dan berbuat baik kepada sesama manusia. Sebagaimana Allah berfirman:
وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا
Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia (QS. Al-Baqarah [2]: 83).
Sejalan dengan itu, argumen lain yang digunakan untuk kebolehan mengucapkan Natal adalah fakta bahwa Nabi Isa as. mengucapkan selamat atas kelahirannya:
وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا – ٣٣
Dan salam (keselamatan dan kesejahteraan) semoga dilimpahkan kepadaku (Nabi Isa as.), pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (QS. Maryam [19]: 33).
Oleh karenanya, sebagian ulama membolehkan ucapan selamat Natal asalkan ucapan tersebut harus dibarengi dengan keyakinan bahwa Nabi Isa as. yang terlahir ke dunia itu adalah salah satu nabi—bukan Tuhan.
Di antara ulama yang membolehkan adalah Habib Umar bin Hafizh dan juga Dewan Fatwa Mesir. Menurut Habib Umar, tidak ada salahnya mengucapkan selamat Natal selama kita tidak menyiratkan penegasan terhadap keyakinan mereka akan Trinitas.
Namun, tidak diperbolehkan bagi umat Islam untuk ambil bagian dalam ritual ibadah Natal yang di dalamnya terdapat penegasan terhadap keyakinan Trinitas yang bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam.
Bolehkah menghadiri undangan perayaan natal?
Para ulama sepakat bahwa jika seorang muslim ikut dalam prosesi perayaan Natal yang di dalamnya terdapat ritual ibadah yang dilakukan oleh umat Kristen, maka hukumnya adalah haram.
Namun, jika tujuannya hanya untuk memenuhi undangan atau menjaga hubungan baik tanpa ikut dalam prosesi perayaan ibadahnya, maka dibolehkan dan dianggap sebagai bentuk balasan atas kebaikan mereka yang mengunjungi kita saat lebaran.
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا – ٨٦
Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu (QS. An-Nisa’: 86).
Seseorang pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang menyaksikan perayaan atau festival Natal di pasar (mall). Imam Ahmad, yang terkenal ketat terhadap masalah-masalah akidah, mengatakan boleh saja selama tidak ada aktivitas peribadatan atau hal-hal yang terkait dengan ritual di gereja.
Bolehkah belanja menggunakan diskon natal?
Di luar konteks ibadah, berhubungan baik dengan pemeluk agama lain hukumnya boleh-boleh saja. Rasulullah ﷺ sering bermuamalah dengan non-muslim, seperti banyaknya orang Mekkah yang menitipkan harta mereka kepada Rasulullah ﷺ karena sifat amanah beliau ﷺ.
Adapun diskon adalah potongan harga yang diberikan penjual kepada pembeli sehingga harga barang menjadi lebih murah. Pemberian diskon adalah bentuk memberikan kemudahan dalam jual beli yang merupakan salah satu anjuran Rasulullah ﷺ:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ، وَإِذَا اشْتَرَى، وَإِذَا اقْتَضَى
Allah menyayangi orang yang memudahkan dalam menjual, membeli dan mengadili (HR. Bukhari no. 2076).
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang kebolehan membeli barang saat perayaan atau festival Natal, yang umumnya ada diskonnya (diskon Natal), beliau mengatakan bahwa itu boleh-boleh saja.
Ulama mazhab Syafii, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami secara umum membolehkan umat Islam meniru perbuatan orang kafir, selama tidak berniat mengikutinya karena kekafiran orang itu. Maka memberikan diskon dan membeli barang dengan diskon natal tidak dilarang, selama tujuannya bukan mengikuti keyakinan mereka.
Bolehkah jual-beli saat natal?
Imam Ibnu Al-Qasim meriwayatkan saat Imam Malik ditanyakan tentang berbagai hari raya di gereja, lalu orang-orang muslim membawa pakaian dan berbagai macam barang dagangan untuk berjualan di sana dan meraup keuntungan, bagaimana hukumnya? Beliau menjawab, “Itu tidak apa-apa.”
Sejalan dengan itu, Imam Al-Maqdisi dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah membolehkan muslim jual-beli barang untuk perayaan hari besar umat lain, seperti Natal. Beliau menjelaskan, “Umat Islam hanya dilarang memasuki sinagog dan gereja, adapun yang dijual di pasar seperti makanan maka tidak apa-apa. Meskipun barang itu dimaksudkan untuk menyempurnakan dan memperindah perayaan mereka.”
Namun, harus diperhatikan bahwa ada beberapa syarat dalam komoditas agar jual belinya menjadi sah dan tidak haram. Salah satu syarat agar jual beli suatu komoditas menjadi sah adalah bermanfaat secara syariat. Selain itu, tidak boleh menjual alat ataupun pernak-pernik spesifik yang digunakan untuk kegiatan peribadatan umat lain.
Oleh karena itu, mayoritas ulama menghukumi tidak sahnya menjual berhala (patung untuk disembah), salib, sesajen dewa-dewi, gambar malaikat, lilin natal, pita natal, topi sinterklas, rusa natal dsb.
Sementara itu, barang-barang umum yang tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah seperti air mineral, snack, kopi, dsb. maka boleh untuk diperjualbelikan.
Misalnya, seorang muslim membuka toko kelontong tidak jauh dari gereja, lantas jemaat gereja ingin membeli satu dus air mineral. Maka, si muslim pemilik toko kelontong itu diperbolehkan menjual air tersebut kepada jemaat gereja. Karena komoditas yang dijualnya bersifat umum.
Atau seorang pemilik SPBU (pom bensin), maka boleh saja ia menjual bensinnya kepada siapa pun, terlepas pemilik kendaraan itu hendak ke gereja atau tidak.
Dengan kata lain, komoditas tersebut tidak berkaitan dengan ritual ibadah. Menjadi haram hukumnya bila si muslim menjual salib atau hiasan natal yang akan digunakan dalam ritual di gereja tersebut.
Bolehkah menerima hadiah Natal?
Sahabat Anas bin Malik ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menerima hadiah jubah dari seorang Kristiani bernama Ukaidir dari Dumah (HR. Bukhari no. 2615).
Selain itu, Rasulullah ﷺ juga mengizinkan para sahabat untuk menerima hadiah dari non-muslim, seperti yang diriwayatkan oleh sahabat Asma binti Abi Bakar ra. Asma meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ tentang hadiah pemberian ibunya, dan ketika itu, ibunya masih dalam keadaan musyrik. Ia bertanya:
إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهْىَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟
Ibuku datang ingin menyambung silaturahmi, apakah aku harus menyambungnya?
Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, “Ya, sambunglah tali silaturahmi dengan ibumu.” (HR. Bukhari no. 2620).
Selain itu, sahabat Ali bin Abi Thalib ra. juga pernah menerima hadiah dari orang Persia saat hari perayaan Nairuz
Berdasarkan beberapa riwayat di atas, maka para ulama membolehkan seorang muslim menerima hadiah dari non-muslim, termasuk di antaranya hadiah natal, selama hadiah itu tidak berkaitan dengan akidah.
Bolehkah merayakan tahun baru?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait perayaan tahun baru. Sebagian ulama melarang, dan sebagian lagi membolehkan.
Ulama yang melarang perayaan tahun baru didasarkan pada hadis riwayat Sahabat Anas bin Malik ra. Suatu hari, Rasulullah ﷺ datang ke Madinah, di mana penduduk Madinah punya dua hari yang diisi dengan bermain-main dan bersenang-senang.
Beliau ﷺ bertanya, “Dua hari apakah ini?”
Mereka menjawab, “Kami bermain-main di keduanya pada masa Jahiliah.”
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian sesuatu yang lebih baik daripada dua hari tersebut, yaitu hari Idul Adha dan Idul Fitri (HR. Abu Dawud no. 1134; Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menilai hadis ini hasan).
Dua hari yang dirayakan penduduk Madinah tersebut adalah hari Nairuz dan Mihrajan. Kata “Nairuz” berasal dari bahasa Persia, “Norouz”, yaitu tahun baru bangsa Persia dan Kurdi yang bertepatan dengan awal rasi bintang Aries atau musim semi, tanggal 21 Maret.
Sedangkan Mihrajan adalah hari pertama dalam rasi bintang Libra atau musim gugur, yaitu tanggal 23 September. Dua hari tersebut merupakan hari raya agama Majusi (Zoroaster).
Hadis di atas juga dijadikan dalil oleh ulama mazhab Hanafi, seperti Imam Al-Muzhhiri dan Imam Abu Hafsh Al-Hanafi yang mengharamkan perayaan hari-hari raya umat agama lain.
Sementara itu, menurut sebagian ulama lainnya, hukum perayaan tahun baru Masehi adalah boleh. Karena tahun baru Masehi tidak termasuk hari raya dalam pengertian syariat.
Di antara yang membolehkan perayaan tahun baru adalah Dewan Fatwa Mesir yang berargumentasi bahwa tahun baru Masehi bukan hari raya Nasrani atau acara keagamaannya.
Kebolehan ini berlaku apabila di dalam perayaan tahun baru tersebut tidak terdapat hal-hal yang diharamkan syariat, seperti kegiatan meminum khamr, berbaurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, membuka aurat di hadapan orang lain, tidak sampai meninggalkan kewajiban syariat seperti shalat, dsb.
Sementara itu, kalaupun perayaan tahun baru Masehi disebut haram, maka keharamannya disebabkan karena adanya faktor lain (li ‘aridh), bukan haram substansinya (li dzatih). Dengan demikian, sesuatu yang haram li ‘aridh berjalan sesuai dengan ‘illat-nya (alasan).
Saat ini perayaan tahun baru lazim dilakukan oleh semua orang dari agama apa pun. Perayaan ini tidak identik dengan satu agama tertentu, sehingga tidak terdapat unsur tasyabbuh dalam merayakannya.
Sahabat KESAN yang budiman, demikian pendapat kami atas pertanyaan di atas. Saran kami, silakan mengamalkan pendapat yang Sahabat yakini terkait pertanyaan-pertanyaan di atas, tanpa perlu saling menyalahkan.
Yang terpenting adalah saling menghargai dan menghormati sesama umat Islam, sesama umat beragama, dan sebagai anak bangsa.
Wallahu A’lam bi Ash-Shawabi.
Referensi: Yahya bin Syaraf An-Nawawi; Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Asqalani; Fath Al-Bari, Mulla Ali Al-Qari; Marqah Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih, Ash-Shan’ani; Subul As-Salam, Al-Qarafi; Al-Furuq, Al-Qalyubi & Al-’Amirah; Hasyiyah Al-Qalyubi wa ‘Amirah, Ibnu Taimiyyah; Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim.