Tekan ESC untuk keluar

BERPROSES

Selain untuk youth development, tujuan dari kompetisi internasional sepakbola kelompok umur adalah untuk membantu transisi dari pemain muda ke pemain senior timnas

Hal ini tidaklah mudah dan kadang ada banyak faktor yang menyebabkan pemain muda potensial gagal menembus level senior dari mulai ketatnya kompetisi, indisipliner, hingga ceder

(ada yang masih ingat Kerlon si wonderkid darí Brasil?).

Lalu pertanyaannya: seberapa banyak pemain muda yang sukses transisi ke timnas senior?

Secara umum, partisipasi pemain di timnas kelompok umur yang lebih tua meningkatkan probabilitas mereka menembus timnas senior.

Studi dari tim nasional Italia, misalnya, menunjukkan bahwa kurang dari 20% pemain yang bermain di level U-16 berhasil menembus timnas senior.

Jika satu tim terdiri dari 23 pemain, berarti hanya sekitar 4-5 pemain alumni U-16 yang akhirnya menembus timnas senior.

Menariknya, persentase ini tak jauh berbeda bila dibandingkan dengan pengalaman tim nasional U-17 Amerika Serikat.

Persentase transisi dari U-17 ke timnas senior sekitar 17%. Dan hanya 7% pemain yang pernah bermain di Piala Dunia U-17 untuk Amerika berhasil main di Piala Dunia Senior.

Dengan kata lain, hanya sekitar 1-2 alumni Piala Dunia U-17 berhasil membela timnas Amerika di Piala Dunia.

Oleh karenanya, U-16 dan U-17 kadang disebut prediktor yang kurang akurat untuk kesuksesan transisi ke timnas senior bahkan untuk menjadi pemain elite.

Hal ini berbeda dibandingkan dengan partisipasi di U-19, apalagi U-21.

Kembali ke kasus Italia, dalam satu studi, pemain U-19 punya peluang sekitar 50% menembus timnas Italia senior.

Dan ketika dicek secara retrospektif, hasilnya pun mirip: 55% pemain timnas senior pernah bermain di timnas U-19. (Ada studi lain tentang ini, suatu saat kita akan bahas.)

Dengan kata lain, (pernah) setengah dari timnas senior Italia adalah alumni U-19. Kalau satu tim jumlahnya 23, maka 11-12 pemain adalah jebolan timnas U-19.

Bagi pemain timnas Indonesia U-19, selamat atas kesuksesannya. Dan terus berproses untuk setengahnya lagi. You can do it, we believe in you!

P.S. Kalau rame, ada part dua-nya, dan juga untuk cabor lain.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩