Bekerja untuk mencari nafkah adalah nilai yang ditekankan dalam Islam. Walaupun berasal dari keluarga terpandang, Nabi Muhammad ﷺ sejak kecil sudah terbiasa bekerja keras. Pekerjaan pertama beliau ﷺ adalah menggembala kambing milik keluarga dan pembesar Quraisy.
Di usianya yang ke-12 tahun, beliau ﷺ mulai ikut berdagang ke Syam bersama pamannya, Abu Thalib. Telaten dengan hewan dan barang dagangan, beliau ﷺ ditugasi mengurusi dan memberi makan/minum unta karavan serta mengecek keutuhan barang dagangan.
Lima tahun kemudian, di usianya yang ke-17 tahun, beliau ﷺ diamanahi memimpin karavan dagang ke luar negeri. Sebuah perjalanan karir yang signifikan dari seorang yatim-piatu yang minim modal, tapi beretos kerja dan berintegritas tinggi.
Reputasi beliau ﷺ sebagai manajer dan pedagang ulung inilah yang akhirnya mendekatkan beliau ﷺ kepada Khadijah hingga akhirnya keduanya menikah dan hidup berkecukupan sebagai saudagar.
Poinnya adalah sekalipun seorang nabi, bekerja itu pasti.
Tak aneh bila Nabi Muhammad ﷺ memuji orang yang bekerja keras untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Beliau ﷺ bersabda, “Tidak ada seorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sungguh Nabi Daud biasa makan makanan dari hasil usahanya sendiri.”
Pernah suatu ketika Nabi Isa berada di gunung tinggi dan menjumpai seseorang yang sedang bersendiri.
“Apa yang kau lakukan sendirian di sini?” tanya Nabi Isa.
“Aku menjauh dari manusia agar aku bisa beribadah dengan tenang,” jawab orang itu.
“Lalu siapa yang menghidupimu?” tanya Nabi Isa.
“Saudaraku biasa membawa makanan dari desa untukku,” jawab orang itu.
“Berarti saudaramu ibadahnya lebih baik darimu,” pungkas Nabi Isa.
Poinnya adalah bekerja itu ibadah. Dan tidak ada kemuliaan dari bergantung kepada manusia.
Suatu ketika Umar bin Khattab melihat khalifah Abu Bakar, pemimpin tertinggi umat Islam saat itu, berjualan pakaian di pasar. Pernah pula Umar melihat sang Khalifah sedang memerah susu kambing tetangganya. Umar pun bingung.
“Apa yang kau lakukan, wahai Khalifah?” tanya Umar.
“Aku memerah susu untuk menghidupi keluargaku,” jawab Khalifah Abu Bakar.
Umar dan para sahabat lainnya akhirnya bermusyawarah dan memutuskan untuk memberi gaji khalifah agar atensi dan fokus dari Abu Bakar dalam memimpin umat tidak terpecah.
Menurut satu riwayat, Abu Bakar hanya meminta UMR buruh di Madinah. Dalam riwayat lain, setara dengan gaji middle-class di Madinah. Wallahu’alam.
Poinnya adalah seorang khalifah sekalipun, kerja ya harus.
Eksploitasi buruh adalah sesuatu yang ditentang dalam Islam. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Berikanlah upah pekerjamu sebelum keringatnya kering.”
Poinnya adalah jangan sampai orang yang bekerja untukmu tersiksa akibat penundaan upah yang memang haknya.
Jika menunda pembayaran saja tidak boleh, apalagi tidak membayar upah pekerja.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa salah satu dosa paling besar adalah “Seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian lari dengan upahnya (i.e., tidak mau membayarnya).”
Bahkan, Nabi Muhammad ﷺ mengatakan Allah akan menjadi musuh di Hari Kiamat bagi “Seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya tapi tidak dibayar upahnya.”
Menjadi musuh Allah di dunia saja tidak akan selamat, apalagi di akhirat.
Terakhir, Khalifah Umar bin Khattab sering sekali berpatroli di Madinah untuk mengecek kesejahteraan buruh. Bahkan tidak jarang beliau membantu para buruh ketika beliau melihat tugas mereka yang terlalu berat.
Khalifah Umar juga tak jarang memarahi majikan, bahkan memecutnya, jika beliau melihat ada buruh yang dieksploitasi atau diperlakukan tidak manusiawi.
Selamat hari buruh. Buruh sejahtera, Indonesia berjaya.
Referensi: HR. Ibnu Majah no. 2443, Sunan Baihaqi Kabir no. 14781, Bukhari no. 2270, Ihya Ulumuddin, No God But God, Destiny Disrupted.