Tekan ESC untuk keluar

Doa Kala Terdesak

Lelaki mulia itu bergegas meninggalkan tanah kelahirannya di Memphis, Mesir, guna menyelamatkan diri dari pasukan Mesir yang hendak menangkap bahkan membunuhnya.

“Tapi aku harus lari ke mana?” tanya lelaki itu di dalam hati. Selama ini beliau hanya mengenal Mesir dan biasa hidup nyaman sebagai salah satu bangsawan di negeri itu.

Negeri yang dulunya ramah kepadanya kini berbalik membencinya.

Di kegelapan malam, beliau pun keluar dari negeri itu dengan rasa takut dan terburu-buru, bahkan alas kaki pun tak sempat beliau bawa.

Berhari-hari beliau mengarungi padang pasir yang teramat panas hingga kakinya melepuh. Rasa lapar pun harus beliau tahan dan puaskan hanya dengan memakan sayur-sayuran seadanya.

Beliau terus berjalan dan berjalan hingga sampailah di negeri Madyan, di barat laut Semenanjung Arabia. Perjalanan dari Memphis ke Madyan tidak kurang dari 460 KM (setara jarak Jakarta-Semarang).

Sesampainya di Madyan, beliau pun bergegas mencari sumber air untuk memuaskan dahaga yang mendera.

Di sumber mata air, beliau melihat dua orang perempuan dengan hewan ternaknya yang butuh bantuan. Mereka mencoba memberi minum ternaknya, tapi tak kuasa bersaing dengan para penggembala lain yang sedang mengambil air di sumur itu.

“Kami perempuan yang lemah, tidak bisa berdesak-desakan dengan laki-laki dan tidak memiliki saudara pria, sedangkan ayah kami telah lanjut usianya, tidak mampu melakukan pekerjaan ini,” ujar mereka kepada lelaki itu.

Lelaki itu kemudian mendapati dua sumur. Satu sumur sedang digunakan oleh para penggembala, sedangkan sumur yang lain ditutup dengan batu yang amat besar.

Dengan kekuatannya yang tersisa, lelaki itu mengangkat batu penutup sumur sehingga dua orang perempuan itu bisa memberi minum ternak mereka. Kedua perempuan itu pun mengucapkan terima kasih dan berlalu.

Sungguh betapa mulianya lelaki itu. Di saat kesusahan sekalipun, beliau masih sempat membantu orang lain yang juga sedang kesulitan.

Teriknya matahari di siang itu lalu memaksanya berteduh di sebuah pohon. Lelaki itu berharap ada sebutir kurma atau bahkan setengah butir kurma yang tersisa di pohon itu.

Tapi apa daya; pohon itu begitu kering, sekering dirinya. Perutnya yang dulu berisi kini begitu kempis karena kelaparan.

Di bawah pohon itu, lelaki itu pun teringat akan kehidupannya yang laksana raja di Memphis dulu: begitu berkuasa, begitu kaya, begitu kekar, begitu dipuja, begitu terpuaskan segala kebutuhannya.

Namun kini beliau sebatang kara di negeri orang: begitu lemah, begitu terasing, begitu miskin, begitu lapar, begitu kurus, begitu tak berdaya.

Di bawah pohon dan di titik nadir itu, lelaki mulia itu mengadu kepada Tuhannya. Dengan lirih, beliau berdoa:

رَبِّ اِنِّيْ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ

Ya Tuhanku, sungguh aku amat membutuhkan rezeki apa pun yang Engkau berkenan berikan kepadaku (QS. Al-Qasas [28]: 24).

Dari redaksi doanya jelas sekali kondisi keterdesakan (kepepet) yang dialami oleh lelaki itu.

Beliau memohon “rezeki apa pun” yang Tuhannya berkenan berikan untuk dirinya—sekecil apa pun rezeki itu. Entah itu sebutir kurma atau bahkan setengahnya. Apa pun rezeki yang datang, lelaki itu akan dengan senang hati menyambutnya.

Dan sungguh lelaki itu bertuhan kepada Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Pemberi.

Kedua perempuan yang sebelumnya beliau tolong tiba-tiba datang menghampiri dan mengajaknya menemui ayahnya.

Setibanya di rumah sang ayah, lelaki itu disuguhi makanan yang begitu lezat—tidak hanya tersedia satu butir kurma yang tadi sempat beliau idam-idamkan di bawah pohon, tetapi juga tersedia berbagai macam makanan dan minuman.

Ayah dari kedua perempuan tersebut juga menjamin perlindungan bagi lelaki itu dan memberinya pekerjaan di negeri Madyan. Lelaki itu pun dapat memulai hidupnya kembali di negeri yang baru. Sungguh perubahan kondisi yang begitu drastis.

Dan apa penyebab perubahan drastis ini?

Salah satunya adalah berkat doa yang diucapkan dengan penuh keikhlasan dan pengharapan oleh seseorang lelaki shalih yang terdesak.

Lelaki shalih itu bernama Musa as. Dan Tuhannya telah mengabulkan doanya.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩