Free Lunch in Indonesia (Part 3)

Hamdan Hamedan
Pojok Hamdan
April 11, 2024

Free Lunch Program

By: Hamdan Hamedan

An interesting point from the ‘State of School Feeding Worldwide 2022’ report by the World Food Programme (WFP) is that the free school lunch program has assisted over 418 million students globally, in at least 76 countries.

Moreover, this initiative can be described as an “economic engine,” having created around 4 million jobs.

In Indonesia, there is significant potential for enhancement.

WFP data indicates that the program’s coverage in Indonesia is still relatively minimal, similar to several countries in Southeast Asia and Africa.

Viewed through a half-full lens, this actually signifies a great opportunity for progress.

Especially since a 2017 WFP study found that free school lunches improve participation and educational quality, particularly for girls, and represent a strategic step towards reducing poverty and economic disparity.

Indonesia has in fact been implementing various free school lunch programs since 1997.

In the context of Islamic boarding schools, for example, such programs have been conducted for decades, even centuries, by the kiai/nyai (may Allah reward them abundantly 🤲).

From 1997 to 2000, the Ministry of Education and Culture ran the Supplementary Feeding Program for School Children, reaching 2.3 million students outside Java and Bali.

From 2005-2010, WFP implemented the WFP School Feeding (Fortified Biscuit) program, benefiting approximately 800,000 students in NTT, NTB, North Sumatra, South Sulawesi, Aceh, and Jabodetabek.

WFP has demonstrated that every dollar invested in this program can generate an economic impact up to nine times greater.

This does not even include the potential to create 1.8 million jobs in Indonesia—a figure that cannot be ignored.

With this, I believe that every plate of food in schools can open the door to a brighter future for Indonesian children and create new job opportunities. Hopefully.

Source : Free Lunch in Indonesia (Part 3)

Previous Post

Doa Kala Terdesak

Next Post

Machiavelli: Meramu Pemimpin yang Efektif

@hamdan.hamedan on Instagram

hamdan.hamedan

549

striker timnas semakin nyetel, sementara wasit semakin…

Jadi teringat sebuah ayat, “Dan kami jadikan sebagian dari kamu cobaan bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Furqan: 20)

Life isn’t always fair, but the show must go on. We will pay in full by defeating them next time, fair and square, without the interference of the referee. Bismillah 💪🏻💪🏻

striker timnas semakin nyetel, sementara wasit semakin…

Jadi teringat sebuah ayat, “Dan kami jadikan sebagian dari kamu cobaan bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Furqan: 20)

Life isn’t always fair, but the show must go on. We will pay in full by defeating them next time, fair and square, without the interference of the referee. Bismillah 💪🏻💪🏻

CERITA LAMA

Genosida di Gaza bukanlah cerita baru,
Tapi cerita puluhan tahun luka membiru,
Di balik reruntuhan ada tangis bisu,
Dicampakkan dunia, sendiri menghadapi pilu.

Langitnya gelap, buminya luluh lantak,
Ribuan nyawa lenyap, tanpa jejak,
Di mana Barat yang lantang mendukung HAM dan Ukraina?
Kalau soal Palestina, ah itu beda cerita.

Para pemimpin Arab menyimpan mimpi,
Menjadi Salahuddin baru nan gagah berani,
Namun ketika datang waktunya beraksi,
Hilang nyali, takut pada bayang sendiri.

Syuhada yang pergi takkan kembali,
Gaza tetap berdiri, walau hampir mati,
Dalam dentuman dan reruntuhan, ada doa sang yatim sunyi,
Menanti akhir dari luka yang tak terperi.

CERITA LAMA

Genosida di Gaza bukanlah cerita baru,
Tapi cerita puluhan tahun luka membiru,
Di balik reruntuhan ada tangis bisu,
Dicampakkan dunia, sendiri menghadapi pilu.

Langitnya gelap, buminya luluh lantak,
Ribuan nyawa lenyap, tanpa jejak,
Di mana Barat yang lantang mendukung HAM dan Ukraina?
Kalau soal Palestina, ah itu beda cerita.

Para pemimpin Arab menyimpan mimpi,
Menjadi Salahuddin baru nan gagah berani,
Namun ketika datang waktunya beraksi,
Hilang nyali, takut pada bayang sendiri.

Syuhada yang pergi takkan kembali,
Gaza tetap berdiri, walau hampir mati,
Dalam dentuman dan reruntuhan, ada doa sang yatim sunyi,
Menanti akhir dari luka yang tak terperi.

J**I ONLINE ADALAH M4UT

“J**i adalah pajak bagi mereka yang tak paham statistik,” begitu kata pepatah Amerika Serikat.

Iya, j**i online mengakali pemainnya untuk kalah—lebih dari 80% setiap kali main.

Hasil akhirnya selalu sama: pemain jatuh miskin, sementara bandar j**i (makin) kaya raya, tertawa bahagia di atas nestapa orang lain.

Kalau j**i Pow*rb**l, peluang menangnya bahkan lebih “mustahil” lagi—hanya 1 banding 300 juta.

Artinya, lebih mungkin kamu digigit hiu, disambar petir, atau dilantik jadi presiden, daripada memenangkan itu.

Jadi kalau mau kaya atau meraih “financial freedom” lewat jalur j**i, lupakan saja. Dave Ramsey, pakar finansial asal Amerika, bilang: j**i bukanlah solusi—baik di Amerika maupun Indonesia.

Nah, di Indonesia, j**i ini semakin mengkhawatirkan. Sekitar 3,79 juta orang terjerat.

80% korban dari kalangan berpenghasilan rendah, termasuk pelajar, buruh, petani, pegawai swasta, hingga ibu rumah tangga. Sedihnya, jumlah ANAK di bawah 10 tahun yang terpapar j**i online berjumlah 80 ribu—setara 1 stadion GBK full.

Nilai transaksinya pun fantastis: mencapai Rp. 327 triliun (2023).

Yuk kita bayangkan jumbonya uang yang tersedot dari rakyat Indonesia, mengalir deras ke kantong para bandar j**i.

Jika kamu pemilik Manchester United, dengan uang Rp. 327 triliun, kamu bisa membeli 427 pemain seharga Matthijs de Ligt. Ehem, tsunami trofi insyaAllah.

Jika kamu pemilik warteg, kamu bisa menumpuk kaleng kerupuk dari bumi sampai ke bulan, bolak-balik. Itu pun masih ada sisa.

Jika kamu pemilik travel umrah, kamu bisa berangkatkan seluruh warga kota Jakarta, yang berpenduduk 11,34 juta jiwa, umrah bareng.

Poin saya adalah: jangan membodohi diri bahwa kita bisa kaya lewat j**i—sudah dosa, bikin miskin pula.

Ingat, j**i online itu adalah M4UT. Dan kita adalah TUMBALNYA.

Lalu siapa yang kaya-raya, bahkan menjadi triliuner akibat “pesugihan finansial” itu? Ya, bandar j**i lah.

Terakhir, kalau kamu punya cita-cita memberangkatkan ayah-ibumu umrah atau punya rumah, percayalah setiap taruhan yang kamu pasang, hanya akan menjauhkanmu dari cita-citamu.

So don’t let that happen. You are better than that.

J**I ONLINE ADALAH M4UT

“J**i adalah pajak bagi mereka yang tak paham statistik,” begitu kata pepatah Amerika Serikat.

Iya, j**i online mengakali pemainnya untuk kalah—lebih dari 80% setiap kali main.

Hasil akhirnya selalu sama: pemain jatuh miskin, sementara bandar j**i (makin) kaya raya, tertawa bahagia di atas nestapa orang lain.

Kalau j**i Pow*rb**l, peluang menangnya bahkan lebih “mustahil” lagi—hanya 1 banding 300 juta.

Artinya, lebih mungkin kamu digigit hiu, disambar petir, atau dilantik jadi presiden, daripada memenangkan itu.

Jadi kalau mau kaya atau meraih “financial freedom” lewat jalur j**i, lupakan saja. Dave Ramsey, pakar finansial asal Amerika, bilang: j**i bukanlah solusi—baik di Amerika maupun Indonesia.

Nah, di Indonesia, j**i ini semakin mengkhawatirkan. Sekitar 3,79 juta orang terjerat.

80% korban dari kalangan berpenghasilan rendah, termasuk pelajar, buruh, petani, pegawai swasta, hingga ibu rumah tangga. Sedihnya, jumlah ANAK di bawah 10 tahun yang terpapar j**i online berjumlah 80 ribu—setara 1 stadion GBK full.

Nilai transaksinya pun fantastis: mencapai Rp. 327 triliun (2023).

Yuk kita bayangkan jumbonya uang yang tersedot dari rakyat Indonesia, mengalir deras ke kantong para bandar j**i.

Jika kamu pemilik Manchester United, dengan uang Rp. 327 triliun, kamu bisa membeli 427 pemain seharga Matthijs de Ligt. Ehem, tsunami trofi insyaAllah.

Jika kamu pemilik warteg, kamu bisa menumpuk kaleng kerupuk dari bumi sampai ke bulan, bolak-balik. Itu pun masih ada sisa.

Jika kamu pemilik travel umrah, kamu bisa berangkatkan seluruh warga kota Jakarta, yang berpenduduk 11,34 juta jiwa, umrah bareng.

Poin saya adalah: jangan membodohi diri bahwa kita bisa kaya lewat j**i—sudah dosa, bikin miskin pula.

Ingat, j**i online itu adalah M4UT. Dan kita adalah TUMBALNYA.

Lalu siapa yang kaya-raya, bahkan menjadi triliuner akibat “pesugihan finansial” itu? Ya, bandar j**i lah.

Terakhir, kalau kamu punya cita-cita memberangkatkan ayah-ibumu umrah atau punya rumah, percayalah setiap taruhan yang kamu pasang, hanya akan menjauhkanmu dari cita-citamu.

So don’t let that happen. You are better than that.

PENJAGA INDONESIA

Mereka menjawab panggilan saat yang lain enggan,
Melangkah tanpa ragu, songsong bahaya di depan
Mereka bertempur dalam gelap pekat
Agar kita dapat melihat terang, menikmati hidup yang hangat.

Mereka tinggalkan nyaman, rumah, dan pasangan tercinta
Demi sumpah setia pada bangsa
Di setiap langkah mereka, kita temukan arti pengorbanan,
Demi negeri ini tetap aman.

Mereka tak minta pujian atau tepuk tangan meriah,
Sekalipun mereka adalah pahlawan, dalam diam yang gagah.
Demi kita, mereka korbankan segalanya,
Di laut, di darat, dan di udara.

Tanah air ini tegak karena ada mereka di barisan terdepan,
Dalam keberanian mereka, kita temukan alasan untuk bertahan—alasan untuk melanjutkan.
Selamat ulang tahun, TNI tercinta,
Kebanggaan bangsa, penjaga Indonesia. 🇮🇩

PENJAGA INDONESIA

Mereka menjawab panggilan saat yang lain enggan,
Melangkah tanpa ragu, songsong bahaya di depan
Mereka bertempur dalam gelap pekat
Agar kita dapat melihat terang, menikmati hidup yang hangat.

Mereka tinggalkan nyaman, rumah, dan pasangan tercinta
Demi sumpah setia pada bangsa
Di setiap langkah mereka, kita temukan arti pengorbanan,
Demi negeri ini tetap aman.

Mereka tak minta pujian atau tepuk tangan meriah,
Sekalipun mereka adalah pahlawan, dalam diam yang gagah.
Demi kita, mereka korbankan segalanya,
Di laut, di darat, dan di udara.

Tanah air ini tegak karena ada mereka di barisan terdepan,
Dalam keberanian mereka, kita temukan alasan untuk bertahan—alasan untuk melanjutkan.
Selamat ulang tahun, TNI tercinta,
Kebanggaan bangsa, penjaga Indonesia. 🇮🇩

PANGGILAN SEJARAH

“Kapan lagi bisa ikut bangun ibukota baru,” jawab Mas Ardhian, teknisi pipa di IKN, saat saya tanya alasan ia bekerja di IKN.

Berasal dari Kalimantan Selatan, Mas Ardhian tidak menampik bahwa ia merantau ke IKN untuk mencari nafkah.

Tapi tidak cuma itu. Ada mimpi yang lebih besar dari itu: mimpi ikut membangun ibukota baru.

“Untuk cari nafkah buat keluarga juga,” kata Mas Ardhian, “tapi saya bangga ikut bangun ibukota, ikut bangun sejarah.”

Sentimen ini menemukan resonansinya saat saya berbincang dengan para pekerja di IKN. Semacam etos yang mungkin tak tertulis tapi terpatri di sanubari.

“Ambil bagian dalam sejarah dan harapan baru Indonesia,” tambah Mas Andro, juga mengurusi pipa, saat ditanya motivasinya.

Pagi itu, Mas Andro, asal Pondok Gede, tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Ia mendapat kejutan istimewa—ayah dan ibunya datang berkunjung.

Ayah dan ibunya pun tak kuasa menutupi rasa bangganya terhadap perjuangan sang anak.

“Bangga dan bahagia sekali anak saya bisa ikut membangun IKN,” ujar sang ayah dan ibu, asal Klaten, dengan mata berbinar.

Ya, bagi Mas Ardhian, Andro, dan para pekerja lainnya, membangun IKN itu bukan sekadar pekerjaan. Tapi juga tentang kebanggaan—tentang menjawab panggilan sejarah bangsanya.🦅🇮🇩🔥

PANGGILAN SEJARAH

“Kapan lagi bisa ikut bangun ibukota baru,” jawab Mas Ardhian, teknisi pipa di IKN, saat saya tanya alasan ia bekerja di IKN.

Berasal dari Kalimantan Selatan, Mas Ardhian tidak menampik bahwa ia merantau ke IKN untuk mencari nafkah.

Tapi tidak cuma itu. Ada mimpi yang lebih besar dari itu: mimpi ikut membangun ibukota baru.

“Untuk cari nafkah buat keluarga juga,” kata Mas Ardhian, “tapi saya bangga ikut bangun ibukota, ikut bangun sejarah.”

Sentimen ini menemukan resonansinya saat saya berbincang dengan para pekerja di IKN. Semacam etos yang mungkin tak tertulis tapi terpatri di sanubari.

“Ambil bagian dalam sejarah dan harapan baru Indonesia,” tambah Mas Andro, juga mengurusi pipa, saat ditanya motivasinya.

Pagi itu, Mas Andro, asal Pondok Gede, tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Ia mendapat kejutan istimewa—ayah dan ibunya datang berkunjung.

Ayah dan ibunya pun tak kuasa menutupi rasa bangganya terhadap perjuangan sang anak.

“Bangga dan bahagia sekali anak saya bisa ikut membangun IKN,” ujar sang ayah dan ibu, asal Klaten, dengan mata berbinar.

Ya, bagi Mas Ardhian, Andro, dan para pekerja lainnya, membangun IKN itu bukan sekadar pekerjaan. Tapi juga tentang kebanggaan—tentang menjawab panggilan sejarah bangsanya.🦅🇮🇩🔥

Semoga analogi sederhana ini dapat diterima.

Bahwa mobil timnas sedang melaju kencang, biarkan ia sampai pada top speed-nya di gigi 5.

Jangan sampai baru di gigi 3, langsung ditarik rem tangan mendadak. Sehingga terpental atau bahkan gagal sampai di finish line di posisi terhormat.

Setelah berakhir di finish line, barulah kita apresiasi dan evaluasi bersama untuk perbaikan.

Semoga dengan demikian, tercapai semua apa yang kita cita-citakan: Garura terbang menuju Piala Dunia. Aamiin YRA 🤲.

Semoga analogi sederhana ini dapat diterima.

Bahwa mobil timnas sedang melaju kencang, biarkan ia sampai pada top speed-nya di gigi 5.

Jangan sampai baru di gigi 3, langsung ditarik rem tangan mendadak. Sehingga terpental atau bahkan gagal sampai di finish line di posisi terhormat.

Setelah berakhir di finish line, barulah kita apresiasi dan evaluasi bersama untuk perbaikan.

Semoga dengan demikian, tercapai semua apa yang kita cita-citakan: Garura terbang menuju Piala Dunia. Aamiin YRA 🤲.

Follow on Instagram