Tekan ESC untuk keluar

Machiavelli: Meramu Pemimpin yang Efektif

The Prince, sebuah buku karya mantan diplomat Florence, Niccolo Machiavelli, membuat geger satu Eropa di abad ke-16.

Pasalnya sederhana, Machiavelli berpendapat pemimpin itu tidak perlu baik-baik amat, atau memiliki apa yang disebut sebagai kode ksatria: jujur, adil dan beradab.

Pemimpin itu, kata Machiavelli, hanya perlu tampil seolah-olah mereka punya sifat demikian. Tapi yang terpenting, pemimpin itu harus pragmatis, oportunis, dan siap berlaku culas dan kejam bila diperlukan.

Hal ini berbanding terbalik dengan ajaran filosofi, norma, dan agama yang dominan saat itu.

Namun, Machiavelli sejatinya mencoba menjelaskan realita kekuasaan itu seperti apa. Bukan idealnya seperti apa.

Faktanya, kata Machiavelli, pemimpin yang selalu bertindak baik di setiap kondisi malah akhirnya dicurangi, dikhianati, dan dieksekusi.

Namun demikian, pemimpin yang seperti rubah—cerdik nan licik—malah lebih sering sukses mempertahankan kekuasaannya.

Efektivitas sebagai pemimpin, ujar Machiavelli, berbanding lurus dengan fleksibilitas dia.

Intinya, dia harus bisa “main bersih” dan juga siap “main kotor” kapan pun. Kalau cuma punya satu jurus saja, alamat celaka.

Efektif di sini berarti sang pemimpin tetap berkuasa, tidak diusir dari negerinya, apalagi dihukum mati di negeri sendiri.

Machiavelli memuji bagaimana Cesare Borgia dan ayahnya, Paus Alexander VI, piawai dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun.

Ketimbang, misalnya, Paus Gregory VII yang harus terasing dari kekuasaannya karena “terlalu lurus”.

Sedihnya, Paus Gregory VII di akhir hayatnya berucap, “Aku mencintai keadilan dan membenci ketidakadilan. Dan karena itu, aku mati di pengasingan.”

Dalam the Prince, Machiavelli mengungkapkan diktum penting bagi pemimpin: tujuan menghalalkan segala cara—seburuk dan sekejam apa pun cara itu.

Namun, setiap pemimpin juga harus merenungkan: hingga batas mana yang boleh dilanggar demi mencapai tujuan?

Sebab di kemudian hari, sejarah tidak hanya mengingat hasil, tapi juga cara yang dipilih untuk mencapainya.

Dan jalan kebaikan memang tidak selalu menjamin kekuasaan dan efektivitas, tapi ia menawarkan sesuatu yang lebih abadi: kehormatan dan (legasi) integritas.

Jadi kamu tim mana? Efektivitas atau integritas?

@hamdan.hamedan on Instagram
ARAN DAN SUARANYA

Di tanah jauh, Aran memimpin negara,
Ikhtiar ubah nasib rakyat dengan kerja dan karya,
Namun suara hanya mencari cela,
Menutup mata pada prestasi yang nyata.

Ia bangun negara, mereka sebut tipu daya,
Ia bantu rakyat tak berdaya, mereka bilang hanya sandiwara,
Tangan berupaya layani rakyat tanpa jeda,
Meski suara sibuk kerdilkan fakta.

Aran, tak goyah walau dihujat,
Tahu bahwa kebaikan tak bisa dilumat,
Sejarah dipatri dari karya dan niat,
Bukan dari suara yang dipenuhi syarat.

Waktu berlalu, celaan terkubur di tanah,
Kerja Aran tak luntur oleh fitnah,
Suara sumbang pun hilang, dilupakan dalam sunyi,
Sementara Aran dikenang hingga nanti.
striker timnas semakin nyetel, sementara wasit semakin…

Jadi teringat sebuah ayat, “Dan kami jadikan sebagian dari kamu cobaan bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Furqan: 20)

Life isn’t always fair, but the show must go on. We will pay in full by defeating them next time, fair and square, without the interference of the referee. Bismillah 💪🏻💪🏻
CERITA LAMA

Genosida di Gaza bukanlah cerita baru,
Tapi cerita puluhan tahun luka membiru,
Di balik reruntuhan ada tangis bisu,
Dicampakkan dunia, sendiri menghadapi pilu.

Langitnya gelap, buminya luluh lantak,
Ribuan nyawa lenyap, tanpa jejak,
Di mana Barat yang lantang mendukung HAM dan Ukraina?
Kalau soal Palestina, ah itu beda cerita. 

Para pemimpin Arab menyimpan mimpi,
Menjadi Salahuddin baru nan gagah berani,
Namun ketika datang waktunya beraksi,
Hilang nyali, takut pada bayang sendiri.

Syuhada yang pergi takkan kembali,
Gaza tetap berdiri, walau hampir mati,
Dalam dentuman dan reruntuhan, ada doa sang yatim sunyi,
Menanti akhir dari luka yang tak terperi.
PENJAGA INDONESIA 

Mereka menjawab panggilan saat yang lain enggan,
Melangkah tanpa ragu, songsong bahaya di depan
Mereka bertempur dalam gelap pekat 
Agar kita dapat melihat terang, menikmati hidup yang hangat.

Mereka tinggalkan nyaman, rumah, dan pasangan tercinta 
Demi sumpah setia pada bangsa 
Di setiap langkah mereka, kita temukan arti pengorbanan,
Demi negeri ini tetap aman.

Mereka tak minta pujian atau tepuk tangan meriah,
Sekalipun mereka adalah pahlawan, dalam diam yang gagah.
Demi kita, mereka korbankan segalanya,
Di laut, di darat, dan di udara.

Tanah air ini tegak karena ada mereka di barisan terdepan,
Dalam keberanian mereka, kita temukan alasan untuk bertahan—alasan untuk melanjutkan.
Selamat ulang tahun, TNI tercinta,
Kebanggaan bangsa, penjaga Indonesia. 🇮🇩