Tekan ESC untuk keluar

Donald Trump Sang Demagog

Hamdan Hamedan | Terbit di Koran Republika pada September 2016

Dalam bukunya yang berjudul Republik, Plato mengkritik kelemahan demokrasi di mana sesorang yang populer tetapi tidak kompeten dapat mengalahkan seseorang yang kompeten. Lebih jauh lagi, sang filsuf cemas akan kemunculan politikus yang mendulang kepopuleran dengan cara menyebarkan irasionalitas, ketakutan tanpa dasar, serta prejudis terhadap kelompok lain: demagog. Sayangnya dalam perebutan kursi presiden Amerika Serikat (AS) tahun ini, kita bersama menyaksikan kemunculan seorang demagog bernama Donald Trump. Ironisnya, Trump mewakili Partai Republik: partai yang telah mempersembahkan Abraham Lincoln, Teddy Roosevelt, Dwight Eisenhower, serta presiden-presiden hebat lainnya kepada rakyat AS.

Jika kurang kompeten atau berpengalaman di bidang eksekutif, calon presiden pada umumnya akan mengandalkan visi kebangsaan yang besar, masuk akal, dan inklusif. Senator Barack Obama, misalnya, menjadikan asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat AS (324 juta jiwa) sebagai visi yang dia usung ketika maju menjadi calon presiden. Sebaliknya Trump mengusung visi yang sempit, tidak masuk akal, dan eksklusif (bahkan prejudis).

Dengan slogannya “Buat Amerika Hebat Lagi,” Trump mengkambing hitamkan Presiden Obama dan kaum minoritas seperti imigran asal Meksiko, umat Islam, dan orang kulit hitam sebagai biang kerok kemunduran dan permasalahan di AS. Trump bahkan menuduh “Meksiko mengirim imigran pemerkosa, penyelundup narkoba, dan penjahat lainnya ke AS.” Sehingga bagi Trump solusinya adalah membangun tembok sepanjang 2000 mil yang akan sepenuhnya dibiayai oleh Meksiko dan imigran asal Meksiko.

Teknisnya tembok seharga 25 miliar USD tersebut akan dibangun dengan mengancam Meksiko untuk menyerahkan10 miliar USD dan menaikan pajak remitansi ke Meksiko atau bahkan memblokir remitansi ke Meksiko. Ini adalah ide yang absurd. Pertama, pemerintah Meksiko sudah berkali-kali menegaskan tidak akan sudi dipaksa membiayai pembangunan tembok. Kedua, menaikan pajak remitansi justru akan mendorong jasa pengiriman uang ilegal dan merugikan bank serta jasa pengiriman konvensional di AS. Ketiga, memotong remitansi ke Meksiko senilai 24 miliar USD per tahun akan berdampak buruk pada ekonomi Meksiko sehingga justru akan mendorong orang Meksiko untuk bermigrasi ke AS. Singkatnya, ide ini bukan saja tidak rasional dan fisibel, tetapi juga berpotensi menjadi bumerang bagi AS.

Ide Trump selanjutnya dalam hal keamanan nasional juga tak kalah absurd dan prejudis. Trump ingin melarang masuknya orang Islam ke AS karena bukan hanya kelompok teror seperti ISIS dan Al-Qaida yang ingin menghancurkan AS tetapi juga karena “Islam membenci AS.” Ide ini sejatinya bukan hanya melanggar Amendemen Pertama Konstitusi AS yang melindungi diskriminasi terhadap agama, tetapi juga melanggar hukum internasional. Sayangnya ide dan retorika Trump yang negatif terhadap Islam terlanjur membantu menyuburkan Islamophobia dan prejudis yang telah ada sebelumnya di masyarakat AS. Jajak pendapat Gallup tahun 2010 menunjukkan bahwa 43% orang Amerika mempunyai sedikit prejudis terhadap umat Islam. Dan di tahun 2015, bersamaan dengan kemunculan Trump di kancah politik, kejahatan berdasarkan kebencian (hate crimes) terhadap umat Islam meningkat tajam di AS. Jika Presiden Abraham Lincoln satu setengah abad yang lalu mendukung kesetaraan antar kelompok di AS serta ingin menjaga persatuan nasional, Trump justru berupaya untuk memojokkan kelompok minoritas dan menaburkan benih perpecahan nasional.

Selain antipati terhadap imigran asal Meksiko dan umat Islam, Trump juga mempunyai sentimen negatif terhadap komunitas kulit hitam di AS. Trump mengklaim bahwa, “Kebanyakan tindak kriminal di kota-kota besar dilakukan oleh orang kulit hitam dan Hispanik.” Padahal pada kenyataannya, berdasarkan riset Profesor Robert Sampson dari Universitas Harvard, ketimpangan sosial-ekonomi di suatu komunitas adalah faktor dominan yang mempengaruhi keputusan untuk bertindak kriminal ketimbang warna kulit atau asal seseorang. Dengan kata lain, orang kulit hitam atau Hispanik yang berlaku kriminal lebih dipengaruhi oleh faktor kemiskinan dan kekurangan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, bukan karena mereka secara naluriah lebih cenderung pada kejahatan dibanding orang kulit putih.

Menjadi demagog boleh saja berhasil membuat Trump sukses menggalang banyak suara dari orang kulit putih tak berijazah sarjana (umumnya disebut white working class voter) serta menjadikan Trump sebagai calon resmi Partai Republik. Namun demkian, citra sebagai demagog kini membuat Trump kesulitan untuk menambah dan mendiversifikasikan pendukungnya. Selain itu, Partai Republik sepertinya juga tidak terlalu kompak mendukung Trump. Masih menjadi tanda tanya besar jika pendukung tokoh-tokoh berpengaruh di Partai Republik seperti Mitt Romney (calon resmi tahun 2012) dan keluarga besar Bush akan mendukung Trump mengingat antagonisme antara Trump dan tokoh-tokoh tersebut.

Untuk memenangi pemilihan presiden, Trump amat mengharapkan membeludaknya pemilih dari white working class dan minimnya partisipasi dari kelompok lain. Namun demikian, tren menunjukkan bahwa kelompok lain, terutama minoritas Hispanik (minoritas terbesar di AS), antusias untuk mendaftarkan diri di pemilihan presiden guna menjegal Trump. Belum lagi banyak faktor lain yang menguntungkan Hillary Clinton seperti membaiknya ekonomi di era kepemimpinan Demokrat, dukungan kompak Obama dan Partai Demokrat terhadap Hillary, serta kecenderungan pemilih perempuan memilih Hillary ketimbang Trump.

Sejatinya, pemilihan presiden AS tahun ini adalah kontestasi antara irasionalitas melawan rasionalitas, inkompetensi melawan kompetensi, intoleransi melawan toleransi. Oleh sebab itu, rakyat AS yang semakin heterogen haruslah berpikir jernih dan tidak mudah terbuai oleh hasutan dan pola pemikiran yang tidak logis bahkan berbau rasis. Mereka harus menggunakan hak politiknya secara aktif dan bijak karena kesehatan demokrasi AS tergantung padanya. Karena kalau tidak, seperti kata Plato, mereka harus bersiap-siap “dipimpin oleh seseorang yang kompetensinya jauh di bawah mereka.”

@hamdan.hamedan on Instagram
Sebagian yang saya sampaikan saat diwawancarai @sport77official bersama Bang @mamat_alkatiri dan Coach @riphanpradipta 

Fakta sejarah yang saat pertama kali saya mengetahuinya membuat saya tertegun sedih. 

#timnasionalindonesia #beritabola #pemaindiaspora #sty #sepakbola #sepakbolaindonesia #meeshilgers #timnassenior #shintaeyong #timnasday #pialadunia #sepakbolamenyatukankita #timnasjuara #timnasgaruda #pemaintimnas #timnasional #naturalisasi #timnassenior #timnasindonesia #sepakbolaindonesia #bolaindonesia #hamdanhamedan #elianoreijnders #pemainketurunan #pssi #sepakbola #sepakbolaindonesia #timnas #timnassenior #ultrasindonesia
ARAN DAN SUARA

Di tanah jauh, Aran memimpin negara,
Ikhtiar ubah nasib rakyat dengan karya,
Namun suara hanya mencari cela,
Menutup mata pada prestasi nyata.

Ia bangun negara, suara sebut tipu daya,
Ia bantu rakyat tak berdaya, suara bilang hanya sandiwara,
Tangan Aran berupaya bekerja,
Meski suara sibuk kerdilkan fakta.

Aran, tak goyah walau dihujat,
Tahu bahwa kebaikan tak bisa dilumat,
Sejarah dipatri dari karya dan niat,
Bukan dari suara yang dipenuhi syarat.

Waktu berlalu, celaan terkubur di tanah,
Kerja Aran tak luntur oleh fitnah,
Suara sumbang hilang, dilupakan dalam sunyi,
Sementara Aran dikenang lestari.
striker timnas semakin nyetel, sementara wasit semakin…

Jadi teringat sebuah ayat, “Dan kami jadikan sebagian dari kamu cobaan bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Furqan: 20)

Life isn’t always fair, but the show must go on. We will pay in full by defeating them next time, fair and square, without the interference of the referee. Bismillah 💪🏻💪🏻
CERITA LAMA

Genosida di Gaza bukanlah cerita baru,
Tapi cerita puluhan tahun luka membiru,
Di balik reruntuhan ada tangis bisu,
Dicampakkan dunia, sendiri menghadapi pilu.

Langitnya gelap, buminya luluh lantak,
Ribuan nyawa lenyap, tanpa jejak,
Di mana Barat yang lantang mendukung HAM dan Ukraina?
Kalau soal Palestina, ah itu beda cerita. 

Para pemimpin Arab menyimpan mimpi,
Menjadi Salahuddin baru nan gagah berani,
Namun ketika datang waktunya beraksi,
Hilang nyali, takut pada bayang sendiri.

Syuhada yang pergi takkan kembali,
Gaza tetap berdiri, walau hampir mati,
Dalam dentuman dan reruntuhan, ada doa sang yatim sunyi,
Menanti akhir dari luka yang tak terperi.