Tekan ESC untuk keluar

Diaspora Indonesia Bela dan Bangun Negara: Sebuah Perspektif

Hamdan Hamedan* | Tempo English April 2016**

Sekilas frasa diaspora Indonesia, sebutan bagi orang Indonesia yang bermukim di luar negeri, terlihat sedikit janggal bila dipadankan dengan frasa bela dan bangun negara. Lokasi dan jarak seakan mencegah atau memustahilkan adanya sebuah konsep diaspora bela dan bangun negara. Namun benarkah demikian adanya? Bagaimanakah dari sudut sejarah, realitas, dan proyeksinya?

Jika kita menilik sejarah, konsep diaspora bela negara tidaklah asing dan bukanlah sekadar konsep, melainkan fakta sejarah. Sebelum kemerdekaan, misalnya, para diaspora di Belanda mengadvokasikan kemerdekaan Indonesia ke seantero Eropa, meski penjara adalah taruhannya. Tak sedikit dari mereka, seperti Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, kembali ke tanah air dan berperan sentral dalam meraih kemerdekaan.

Setelah kemerdekaan, para diaspora di Mesir, Zein Hassan dan kawan-kawannya, berperan dalam membantu rombongan Haji Agus Salim mendapatkan pengakuan pertama kemerdekaan Indonesia dari pemerintah Mesir. Bung Hatta bahkan memuji bagaimana gerakan diaspora telah ‘meratakan jalan’ bagi diplomat Indonesia dalam mendapatkan pengakuan kemerdekaan di Timur Tengah.

Diaspora bela negara tidak berakhir seiring usainya zaman revolusi, melainkan terus berkembang dan beradaptasi di zaman globalisasi. Perjuangan diaspora mungkin tidak lagi dalam konteks menggapai kemerdekaan, tetapi salah satunya ada dalam konteks memelihara identitas nasional. Hal ini tidak hanya konsisten dari segi etimologi, tetapi juga dalam ranah konsepsi. Kata ‘bela’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bukan hanya berarti ‘melepaskan dari bahaya,’ tetapi juga ‘memelihara.’ Bela negara, oleh karenanya, dapat pula diartikan sebagai upaya untuk memelihara kelangsungan suatu negara.

Suatu negara, terutama Indonesia, adalah amalgamasi dari berbagai macam suku, bangsa, agama, tradisi, dan bahasa. Terciptanya amalgamasi tersebut tak bisa dipisahkan dari identitas nasional yang dirajut secara bersama-sama. Identitas nasional kemudian menjadi komponen maha penting dalam memelihara kelangsungan suatu negara. Pancasila, bahasa Indonesia, dan batik, misalnya, adalah bagian dari identitas nasional kita. Dapatkah kita membayangkan Indonesia tanpanya? Oleh sebab itu, mempertahankan identitas nasional adalah suatu hal yang tak terpisahkan dari konsep bela negara itu sendiri. Di sinilah salah satu ruang di mana para diaspora dapat terus berkontribusi.

Identitas Nasional

Para diaspora Indonesia yang ditaksir berjumlah 8 juta jiwa dan tersebar di lebih dari 90 negara bukan hanya berperan dalam mempertahankan identitas nasional, tetapi juga memperkenalkannya kepada bangsa lain—people-to-people diplomacy. Dalam hal bahasa, misalnya, para diaspora dengan bangga melestarikan penggunaan ragam bahasa nasional dalam kehidupan sehari-hari.

Seseorang yang berkunjung ke daerah Randwick, Australia, akan serasa berada di tanah air dengan menggaungnya penggunaan bahasa Indonesia dan merebaknya kuliner nusantara di daerah tersebut. Selain itu, parade budaya yang menampilkan kesenian dan tarian tradisional khas nusantara acap kali diselenggarakan oleh para diaspora untuk khalayak ramai di luar negeri.

Di California bagian utara, misalnya, tidak kurang dari empat pagelaran budaya digelar tiap tahunnya, dari mulai pementasan gamelan dan angklung sampai tarian Kecak dan Tortor. Singkatnya, identitas nasional yang tadinya hanya terpatri di dalam negeri, dapat juga terpromosi di luar negeri oleh sebab diasporanya sendiri terpanggil untuk mempromosikan identitas nasional.

Selanjutnya, dalam hal seremonial, penghormatan para diaspora terhadap simbol negara juga tidak pudar. Diaspora rutin melaksanakan upacara bendera, menghormat pada bendera Merah Putih, serta menyanyikan lagu kebangsaan dalam upacara yang dilaksanakan oleh Perwakilan Indonesia di luar negeri. Bahkan seorang diaspora Peru yang tinggal jauh dari ibu kota Lima tetap menyelenggarakan upacara 17 Agustus secara swadaya sekalipun hanya diikuti oleh anak dan istrinya. Semua ini adalah bentuk kecintaan dan penghormatan kepada simbol negara sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2009.

Hubungan Internasional

Berkembangnya komunitas diaspora yang terus melestarikan identitas nasional dan berperan aktif secara sosial, kultural, dan politik di negara perantauan dapat berpengaruh pada hubungan kedua belah negara. Hubungan tersebut juga pada akhirnya berkaitan dengan bidang keamanan (baca: meminimalkan potensi terjadinya konflik) antara kedua negara.

Secara umum tren dalam Hubungan Internasional menunjukkan bahwa diaspora cenderung meningkatkan hubungan baik antar negara dan kerap menjadi jembatan antar negara. Komunitas diaspora Indonesia yang mencintai tanah air dan dicintai oleh tanah airnya, dapat menyuarakan kepentingan Indonesia di luar negeri, bagai diplomat tanpa paspor dinas.

Hubungan antara kedua belah negara pun bisa lebih erat sehingga meminimalkan ancaman keamanan atau agresi dari negara perantauan terhadap negara asal diaspora. Para diaspora umumnya mempunyai kepentingan untuk memastikan kebijakan luar negeri antara kedua belah negara tidak bersifat antagonistik, tetapi justru sinergistik.

Contoh diaspora Indonesia di Mesir pada awal sejarah kemerdekaan Indonesia menunjukkan bagaimana diaspora Indonesia dapat memengaruhi kebijakan pemerintah Mesir agar lebih suportif terhadap permintaan pemerintah Indonesia.

Namun ada kalanya komunitas diaspora yang sarat modal dan koneksi dapat menyetir kebijakan luar negeri suatu negara. Contohnya, diaspora Yahudi di Amerika Serikat, yang menurut John Mearsheimer dan Stephen Walt, berpengaruh besar dalam kebijakan luar negeri Paman Sam sehingga umumnya melindungi kepentingan dan keamanan Israel. Dalam contoh diaspora Yahudi, jelas bahwa diasporanya membantu secara langsung dalam bela negara lewat jalur pengaruh dan lobi.

Bangun Negara

Namun demikian, peran dan potensi diaspora terhadap tanah kelahirannya menurut para pakar migrasi seperti Kathleen Newland umumnya signifikan pada sektor ekonomi. Dengan kata lain, diaspora jauh lebih berperan dalam konteks bangun negara (baca: membangun perekenomian negara). Tentunya, perekonomian suatu negara berkaitan erat dengan kemampuan negara tersebut mempertahankan dirinya dari berbagai ancaman keamanan. Negara yang ekonominya goyah akan kesulitan pada umumnya untuk memodernisasi alutsistanya, meningkatkan kualitas pasukannya, dan menangkal ancaman keamanan yang kian beragam.

Melalui remitansi, para diaspora turut membantu menggerakkan roda ekonomi di tanah air. Jumlah remitansi yang dikirim pun tidak terbilang sedikit dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2014, misalnya, total remitansi diaspora Indonesia mencapai 109 trilyun rupiah. Menarik untuk dicermati bahwa remitansi diaspora melampaui Anggaran Pertahanan 2014 yang sebesar 90 trilyun rupiah.

Dan di tahun 2015, jumlah remitansi terus meningkat hingga 119 trilyun rupiah. Di tengah lesunya ekonomi Indonesia, peningkatan jumlah remitansi diaspora bak angin segar. Remitansi para diaspora dapat digunakan sebagai modal untuk membuka usaha di tanah air, bukan hanya sekadar untuk dikonsumsi, sehingga dampaknya lebih positif dan luas. Selain remitansi, diaspora juga dapat mendorong perdagangan, filantropi, investasi asing langsung (FDI), dan alih ilmu serta teknologi ke tanah air.

Dalam konteks alih teknologi, misalnya, Silicon Valley Asia Technology Alliance (SVATA), yang diprakarsai oleh beberapa diaspora Indonesia di bidang teknologi, rutin menyelenggarakan bootcamp bagi para pelaku startup dari Indonesia untuk meningkatkan kemampuan, wawasan, dan jaringan mereka. Tujuan utamanya tentu agar pelaku startup yang telah mengikuti bootcamp mendapat bekal tambahan guna mengembangkan industri teknologi di Indonesia. Di tengah arus masuknya berbagai startup asing yang ingin mendominasi pasar di Indonesia, SVATA dapat ditafsirkan sebagai salah satu instrumen bangun negara dalam bentuk pertahanan dan pembangunan startup lokal.

Senada dengan apa yang disebut Benedict Anderson sebagai nasionalisme jarak jauh dalam konteks positif, diaspora dapat menuangkan kecintaannya terhadap tanah air lewat cara-cara semampu mereka sekalipun mereka di luar negeri. Baik lewat pelestarian identitas nasional, jalur ekonomi, alih teknologi atau lainnya, peran diaspora tak bisa dinafikan. Jika prinsip dasar bela dan bangun negara adalah “kecintaan kepada NKRI dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara,” maka diaspora Indonesia akan dapat terus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari NKRI.

###

* Hamdan Hamedan adalah warga negara Indonesia dan Presiden Indonesian Diaspora Network-California Utara (2013-2016). Opini di atas bersifat pribadi.

** Artikel telah terbit do Majalah Tempo English Edisi Khusus pada bulan April 2016.

@hamdan.hamedan on Instagram
PENJAGA INDONESIA 

Mereka menjawab panggilan saat yang lain enggan,
Melangkah tanpa ragu, songsong bahaya di depan
Mereka bertempur dalam gelap pekat 
Agar kita dapat melihat terang, menikmati hidup yang hangat.

Mereka tinggalkan nyaman, rumah, dan pasangan tercinta 
Demi sumpah setia pada bangsa 
Di setiap langkah mereka, kita temukan arti pengorbanan,
Demi negeri ini tetap aman.

Mereka tak minta pujian atau tepuk tangan meriah,
Sekalipun mereka adalah pahlawan, dalam diam yang gagah.
Demi kita, mereka korbankan segalanya,
Di laut, di darat, dan di udara.

Tanah air ini tegak karena ada mereka di barisan terdepan,
Dalam keberanian mereka, kita temukan alasan untuk bertahan—alasan untuk melanjutkan.
Selamat ulang tahun, TNI tercinta,
Kebanggaan bangsa, penjaga Indonesia. 🇮🇩
Semoga analogi sederhana ini dapat diterima. 

Bahwa mobil timnas sedang melaju kencang, biarkan ia sampai pada top speed-nya di gigi 5. 

Jangan sampai baru di gigi 3, langsung ditarik rem tangan mendadak. Sehingga terpental atau bahkan gagal sampai di finish line di posisi terhormat. 

Setelah berakhir di finish line, barulah kita apresiasi dan evaluasi bersama untuk perbaikan. 

Semoga dengan demikian, tercapai semua apa yang kita cita-citakan: Garura terbang menuju Piala Dunia. Aamiin YRA 🤲.