Artikel ini telah terbit sebelumnya di koran Republika
Dwi kewarganegaraan (DK) akhir-akhir ini menjadi topik hangat di Tanah Air. Seiring dengan derasnya arus globalisiasi, pasar bebas, serta migrasi internasional, baik-buruk serta tepat-tidaknya memberlakukan DK adalah suatu wacana yang harus dikaji oleh (hampir) semua negara. Tak terkecuali Indonesia.
Realitas dunia saat ini menunjukkan bahwa ada kurang lebih 250 juta manusia, setara dengan jumlah penduduk Indonesia, yang menetap di negara bukan tanah kelahirannya. Dengan jumlah tabungan mencapai 500 miliar dolar AS dan remitansi melebihi 600 miliar dolar AS per tahun, mereka adalah komunitas yang patut diperhitungkan.
Lantas, bagaimana dengan perantau Indonesia di luar negeri atau yang sering disebut diaspora Indonesia? Diperkirakan diaspora Indonesia tersebar di lebih dari 91 negara di dunia. Jumlah mereka sekitar delapan juta jiwa, setara dengan jumlah penduduk Sulawesi Selatan. Sebanyak 4,7 juta jiwa berkewarganegaraan Indonesia, sedang sisanya berkewarganegaraan asing atau berkewarganegaraan ganda terbatas hingga berusia 18 tahun.
Sejak lama, mereka telah menjelma menjadi komunitas sarat modal, talenta, dan jaringan yang bila dikelola dengan bijak akan memberikan manfaat dahsyat bagi Indonesia. Menurut survei teranyar, mayoritas diaspora Indonesia per individu rutin mengirim antara Rp 15 juta hingga Rp 150 juta per tahun ke Indonesia. Tahun ini jumlah remitansi diaspora Indonesia mencapai 10,5 miliar dolar AS atau setara dengan dua kali lipat anggaran kepolisian tahun 2016.
Potensi diaspora Indonesia yang signifikan serta derasnya migrasi ke dalam dan luar Indonesia tak pelak merelevansikan wacana DK. Semakin dini dan saksama kita mempertimbangkan DK, tentunya semakin siap dan matang pula kita dapat memutuskannya kelak.
Aspirasi DK yang sering disuarakan para diaspora Indonesia bukanlah upaya untuk mengindonesiakan orang asing yang tidak mempunyai ikatan hukum maupun batin terhadap Indonesia, melainkan upaya untuk mempertahankan keindonesiaan orang Indonesia dan keturunannya. Subjek hukumnya adalah warga negara Indonesia (WNI), mantan WNI, dan keturunan dari keduanya. Subjek hukum DK adalah warga in good standing (i.e., bukan penjahat, separatis, apalagi teroris) baik di mata pemerintah negeri rantau maupun negeri asal. Selain itu, negeri rantau juga harus dipilih secara selektif, yaitu negeri-negeri yang bersahabat dengan Indonesia dan tidak sedang dalam kondisi keamanan yang meresahkan. Aspirasi DK sejatinya tidak bermaksud untuk mengancam keamanan dan keutuhan NKRI.
Saat ini, setidaknya ada 84 negara di dunia yang memberlakukan DK. Tentunya sebagai rational unitary actors, negara-negara tersebut tidak memberlakukan DK untuk merugikan dirinya, tetapi karena terdapat keuntungan nyata darinya, atau minimal keuntungan yang didapat melampaui kerugiannya. Dengan merangkul dan memberikan status kewarganegaraan kepada keturunan warganya dan mantan warganya di luar negeri, negara berpotensi menjadikan mereka bagian dari extended-nation sehingga koneksi ekonomi, sosial, dan budaya antara mereka dan negara asal dapat terus terjalin. Di tengah persaingan modal dan talenta yang semakin ketat, pemberlakuan DK adalah salah satu strategi viabel yang kerap digunakan oleh banyak negara.
Studi yang dilakukan David Leblang dan Christian Hubert Ebeke menunjukkan negara-negara yang memberlakukan DK berpotensi mendapatkan lebih banyak remitansi dan aliran modal dari para diasporanya di luar negeri dibanding dengan negara-negara yang tidak. Bukan tidak mungkin, ceteris paribus, jika Indonesia memberlakukan DK maka Indonesia dapat menjadi penerima remitansi terbesar di Asia Tenggara, atau minimal menyalip Vietnam di urutan kedua.
Selain dalam hal modal dan remitansi, pemberlakuan DK dapat menstimulasi kepulangan para mantan warga negara dan keturunannya ke Tanah Air, return migration. Para diaspora Indonesia secara umum mempunyai brain power yang luar biasa, sehingga kepulangan mereka ke Tanah Air akan berdampak positif.
Menurut survei terkini, 44 persen dari mereka berpendidikan sarjana, sedang 27 persen dari mereka berpendidikan setingkat magister dan doktor. Sebagian dari jutaan diaspora Indonesia adalah pekerja profesional terampil, penemu, dan peneliti kelas dunia yang mungkin tidak lagi berkewarganegaraan Indonesia setelah naturalisasi di negara lain. Mereka sering disebut dengan istilah population lost atau brain drain. Dengan pemberlakuan DK, mereka dapat leluasa kembali ke Tanah Air untuk menerapkan keahlian mereka di bidang-bidang yang membutuhkan, sehingga dapat membantu membalikkan kondisi brain drain menjadi brain gain. Proteksi terhadap kepentingan nasional dapat dilakukan, misalnya dengan membuat batasan dengan menempatkan para pekerja tersebut tidak di posisi strategis atau sensitif.
Diskusi mengenai DK tidaklah lengkap tanpa membahas nasionalisme. Salah satu indikator nasionalisme mungkin saja adalah kewarganegaraan tunggal sepanjang hayat. Namun, itu bukanlah satu-satunya indikator. Sejalan dengan ucapan John F Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang negara dapat lakukan untukmu, tetapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu,” nasionalisme sejatinya juga bertumpu pada kontribusi dan bakti kepada bangsa.
Faktanya, banyak dari para diaspora Indonesia sejak lama telah dan terus mengabdikan keahlian, modal, dan jaringan mereka untuk kemajuan bangsa, sekalipun sebagian dari mereka tidak lagi WNI. Saat ini saja, misalnya 24 profesor diaspora Indonesia sedang mengerjakan proyek pendidikan di Papua guna meningkatkan kualitas pendidikan tinggi dan vokasional di Bumi Cenderawasih. Menyikapi perkembangan terkini, sepertinya wacana DK sudah pantas untuk dibahas.