Salah satu pertanyaan yang “menggelitik” para pakar terorisme adalah mengapa seseorang rela membunuh dirinya sendiri untuk membunuh orang lain yang dianggap musuhnya.
Bukankah setiap orang ada naluri self-preservation? Kalau dia benci pada orang lain, mengapa justru dia yang harus ikut mati?
Mia Bloom, dalam bukunya Dying to Kill, coba untuk menjawab. Baik Mia maupun mantan dosen saya, Jeffrey Bale, yang telah mendalami ragam motivasi pelaku teror lintas ideologi, sampai pada konklusi yang mirip-mirip.
Apa konklusinya?
Para pelaku bom bunuh diri berniat ingin menghukum “musuhnya”yang dicap sebagai manifestasi setan atau kejahatan di bumi ini.
Mereka pun merasa dirinya sebagai instrumen Tuhan (atau kebaikan) di muka bumi. Walhasil, mereka merasa si paling punya hak menghukum dan mengirim musuhnya ke neraka–baik itu neraka dunia (baca: luka parah hingga cacat seumur hidup sebagai hukuman di dunia) maupun neraka di akhirat nanti.
Menariknya, Syeikh Muhammad Matwali Sya’rawi pernah berbincang dengan seorang teroris dan bertanya, “Kemanakah (perginya) orang yang kau bunuh (dengan bom) itu setelah kematiannya?’
“Mereka tentu masuk neraka!” jawab teroris itu bangga.
Syeikh Sya’rawi kemudian berkata, “Lho aneh sekali! Masa kerjaanmu sama seperti setan, yaitu suka memasukkan orang ke dalam neraka.”
Betul juga kata filsuf, “Aku telah menyelami kedalaman lautan dan kutemukan kegelapan di sana, tapi tidak lebih gelap dari kegelapan hati manusia yang dirasuk kebencian.”