Saat ayam masih lelap mendengkur, seorang lelaki tua di kota Philadelphia, Amerika Serikat, sudah bangun dari tidurnya. Gemblengan militer membiasakan dirinya “siap tempur” sebelum matahari menampakkan cahayanya.
Namun, di pagi buta hari itu, dia merasakan keletihan fisik dan mental yang berbeda dari biasanya. Hal ini semakin memantapkan keputusannya untuk menyudahi masa jabatannya. Dia mungkin tidak pernah menyangka keputusan yang hendak diambilnya akan menjadi “sunnah” bagi para presiden setelahnya.
Siapa dia?
Dialah Presiden Pertama Amerika Serikat, George Washington.
Setelah fajar menyingsing, dia beranjak ke ruang kerjanya. Draf Pidato Perpisahannya sudah tersedia di atas mejanya. Dia membacanya dengan saksama, lalu menambahi beberapa editan terakhir.
“This is it,” Washington berkata dengan puas dalam hati.
Beberapa kolega, menteri, dan anak buahnya, bertanya apakah dia sudah yakin tidak akan melanjutkan kepresidenannya selama tiga periode. Sebagian koleganya mencoba meyakinkannya untuk lanjut satu periode lagi:
“Rakyat masih menginginkan Anda. Popularitas Anda masih nyundul langit dan Konstitusi tidak membatasi.”
“Negara ini perlu kontinuitas kepemimpinan agar jadi negara besar.”
“Konstelasi politik internasional sedang rawan dengan adanya perang Ukraina (Nato) vs. Rusia, eh salah, maksudnya Inggris vs. Perancis.”
“Masih perlu kepemimpinan Anda untuk mengerem polarisasi Cebong vs. Kampret, eh maaf salah, maksudnya Federalist vs. Democratic-Republican.”
“Ibu kota negara juga belum rampung pindah.”
Kurang lebih begitu ragam argumen yang ada saat itu, mencoba membujuk Washington untuk memimpin Amerika untuk ketiga kalinya.
Di penghujung periode pertama kepresidenan, Washington sebetulnya sudah ingin pensiun. Tapi tokoh-tokoh bangsa, yang sering kali ribut satu sama lain, seperti Hamilton, Madison, dan Thomas Jefferson, tiba-tiba mendatanginya dengan membawa “ijma” bahwa Amerika butuh Washington (lagi).
“Ketidakhadiran Anda di pucuk kepemimpinan dapat memicu kerusakan terbesar di negeri ini,” rayu Hamilton.
Melawan keinginan dirinya untuk lengser keprabon madep pandito ratu serta kehendak istrinya yang sudah lama memintanya pensiun, Washington dengan berat hati memilih untuk mengabdi untuk kedua kalinya guna mengamankan negara.
Dia pun akhirnya menjabat presiden Amerika selama dua periode.
MENANG TANPA USAHA
Walau tak memiliki big data 110 juta pengguna media sosial, Washington tahu dirinya akan menang pemilihan presiden untuk ketiga kalinya—jika dia mau. Bahkan mungkin tanpa perlu kampanye sekalipun.
Wong dua kali pemilu dia TIDAK mencalonkan diri secara resmi tapi malah dipilih dan menang. Apalagi kalau pakai niat, baliho, dan timses.
But why is it so, Ferguso?
Alasannya sederhana: jasa Washington terhadap Amerika (sudah) terlalu besar. Dialah Jenderal Tertinggi dalam Perang Revolusi Amerika melawan negara superpower kala itu, Inggris. Sekalipun kans dia untuk menang lawan Inggris lebih kecil daripada kans seseorang jadi sultan lewat Binomo, Washington justru menang.
Perang Revolusi itu mahal. Dan selama perang, Washington sering menomboki biaya dan gaji tentara. Walhasil harta kekayaannya merosot tajam selama pandemi, eh salah, maksudnya selama Perang Revolusi. Selama jadi presiden pun dia memilih untuk tidak menerima gaji.
Ketika ada pemberontakan setelah merdeka (Whiskey Rebellion), Washington, yang tak betah di kantor, pun memimpin langsung penumpasannya. Dan dia menang (walau dituduh otoriter).
Dia pula yang memimpin sidang penetapan Konsitusi Amerika. Gabungan antara negarawan dan jenderal, Washington punya kharisma dan track-record yang sulit untuk disaingi. Dialah Optimus Prime, eh salah, maksudnya Primus Inter Pares (first among equals) di kalangan “Bapak Bangsa Amerika.”
Tak aneh, Electoral College pun dibuat segan untuk tidak memilihnya.
Dan tak aneh pula, ketika Washington mengumumkan secara resmi dia tidak akan mengikuti pilpres, Wakil Presiden, (mantan) menterinya, serta para gubernur pun langsung gaspol kampanye.
Dua kali kalah dari Washington saat pilpres, Prabowo, eh salah, maksudnya John Adams yang kini menjabat Wakil Presiden begitu semangat untuk mencalonkan diri satu kali lagi. Tanpa Washington, dia adalah kandidat terkuat berdasarkan Lingkaran Survei Amerika.
“Menjadi presiden itu bukan mimpi si Washington, tapi itu mimpiku,” kata John Adams dalam hati.
Mantan menteri yang “sakit hati” pada Washington, Anies, eh salah, maksudnya Thomas Jefferson pun bersiap untuk ngukur baju.
Sementara itu, Gubernur New York dan Massachusetts, Ridwan dan Ganjar, eh salah, maksudnya John Jay dan Samuel Adams pun langsung merapat ke parpol besar.
Tapi, saudara, ada pertanyaan yang belum terjawab.
Mengapa Washington memutuskan untuk tidak maju lagi walaupun Konstitusi tidak melarang? Bosankah dia menjadi orang nomor satu?
Apa alasan strategis, politis, dan personal yang mempengaruhinya?
Mengapa Washington tidak lanjut saja toh dia lagi memimpin proyek besar pemindahan ibukota?
Temukan jawabannya di episode berikutnya.
Pemirsa, kita rehat sejenak.