Tekan ESC untuk keluar

HANYA BERBICARA BAIK TERHADAP YANG SUDAH MENINGGAL

Dulu waktu saya kecil, saya pernah ikut menshalatkan, mengantarkan, dan menguburkan jenazah kerabat saya. Suasana begitu haru sehingga banyak dari pihak keluarga, termasuk saya, ikut larut dalam tangisan.
Sepulangnya dari kuburan, saya tak menyangka ada seorang kerabat saya (yang lain) malah menjelek-jelekan jenazah yang baru saja kami kuburkan bersama-sama.
Kuburan masih basah, tangis belum reda, sisa tanah kuburan pun masih lekat di pakaian dan di kuku-kuku jari tangan, tapi ia malah lancang membuka aib sang jenazah.
Saya tidak habis pikir dan melirik ke ayah saya. Berharap jawaban atau respons apa pun dari beliau. Namun, beliau memilih diam. Mungkin adab yang buruk memang tak pantas diladeni.
Namun, ada yang salah di sini; ada pelanggaran adab di sini apa pun istilahnya.
Saya ingin merespons; saya ingin membela jenazah yang kini sudah tak bisa bersuara dan membela dirinya. Tapi apa daya, ilmu tak seberapa, dalil tak punya, serta artikulasi yang masih terbata-bata. Di siang kelabu itu, saya memilih (dan terpaksa) diam karena tak punya ilmu.
Namun kini saya tak bisa dan tak patut diam ketika membaca umpatan terhadap seorang ustadz yang baru-baru ini meninggal.
Terlepas suka atau tidak suka, beliau sudah tiada; suka tidak suka, beliau sedang mengadap Rabb-Nya; suka tidak suka, hormati beliau dan keluarganya.
Bagi yang sedang mencari dalilnya seperti saya waktu kecil, berikut adalah dalil Islami dan sekularnya:
Pernah suatu ketika seseorang menjelekkan saudaranya yang sudah wafat di hadapan Rasulullah, beliau ﷺ pun bersabda, “Janganlah kalian berbicara tentang yang sudah meninggal kecuali kebaikan” (HR. Nasa’i no. 1935; sahih).
Atau pepatah latinnya, “De mortuis nil nisi bonum” (tentang orang-orang yang sudah meninggal, tiada lain kata-kata baik).
Andai saja saya tahu hal ini 25 tahun yang lalu. Dan Al-Fatihah untuk beliau-beliau.
@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩