Seseorang mendatangi Rasulullah ﷺ untuk meminta nasihat dari beliau.
“Ya Rasulullah, berilah aku nasihat tapi jangan panjang-panjang sehingga aku lupa. Namun, beri aku nasihat yang pendek nan paripurna,” pinta orang itu.
Rasulullah ﷺ pun tersenyum menyanggupi.
“La taghdab (jangan marah),” ujar Rasulullah ﷺ singkat.
“Apa lagi?” tanya orang itu kembali.
“La taghdab,” ujar Rasulullah kembali. (HR. Ahmad).
Ketika kita dihina bahkan dilecehkan, mungkin kita masih bisa bersabar. Tapi ketika orang tua atau pasangan kita yang dihina, maka wajar—bahkan wajib—bagi kita untuk marah. Inilah yang dimaksud dengan righteous indignation.
Begitulah mungkin situasi batin yang dialami oleh sahabat saya Gus Rifqil and istrinya Ning Imaz, saat beberapa hari lalu sang istri direndahkan oleh seseorang.
Namun, putra-putri kiai ini memang beda. Sekalipun berat, mereka memilih untuk memaafkan sang pelaku ketimbang kemarahan.
Ada keluhuran budi yang ditunjukkan, ada kesabaran kelas tinggi yang disyiarkan.
Mereka berdua memilih jalan kesabaran, jalannya Al-Quran: “Balaslah keburukan dengan kebaikan,” (QS. Fushilat: 34).
Dan memang sabar yang demikian hanya dimiliki orang-orang pilihan. Ia adalah hadiah spesial. Sebagaimana Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Tidaklah ada hadiah yang lebih baik dan paripurna dari kesabaran.” (HR. Malik).