Wabah kematian melanda seantero hutan. Seluruh penghuni hutan pun berkumpul untuk mencari solusi.
“Saudaraku sehutan dan sebelantara, aku percaya bahwa para dewa mengirim wabah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa kita. Karena itu, hewan yang paling bersalah di antara kita harus dikorbankan. Mungkin dengan demikian kita semua bisa selamat,” ujar Singa si Raja Rimba memulai pidatonya.
“Setuju,” ujar seluruh warga hutan.
“Baik, aku akan mulai pengakuan dosa,” ujar Singa. “Aku ini suka memangsa berbagai macam hewan, dari mulai keledai, rusa, sapi, hingga badak sekalipun. Kerakusanku tak kenal batas. Kalau aku lapar, semua hewan bisa jadi makanan. Karena itu, akulah yang bersalah, dan aku pun siap dikorbankan.”
“Yang Mulia Raja Singa,” kata Rubah. “Justru Baginda terlalu baik. Tidaklah mungkin memakan hewan dungu dan bebal seperti keledai itu dapat dikatakan sebuah kejahatan. Tidak, tidak, Yang Mulia. Justru Baginda telah memberi mereka kehormatan besar dengan memakannya.”
Warga hutan pun sepakat dengan rubah, mereka justru memuji keberingasan si Raja Rimba.
Sekarang giliran Serigala untuk melaporkan dosanya. “Sama seperti Raja Singa, terkadang aku membantai seluruh keluarga keledai, hanya karena ingin mencicipi paha keledai muda yang empuk. Itu pun tak semuanya kumakan. Itulah dosaku,” ujar Serigala.
Lagi-lagi Rubah membelanya, “Tuanku Serigala memangsa keledai karena ingin menghidupi kawanannya (keluarganya). Tidak ada yang salah dengan itu. Kalau Tuanku Serigala dikorbankan, lalu siapa yang akan menghidupi anak-anaknya? Lagi pula hanya keledai dungu sajalah yang memasuki daerah serigala. Itu salah si keledai.”
Lagi-lagi, warga hutan sepakat.
Akhirnya, giliran Keledai mengakui dosanya. “Pernah suatu ketika aku begitu laparnya, tapi takut untuk masuk ke daerah Yang Mulia Raja Singa dan Tuanku Serigala, sehingga aku makan rumput milik manusia. Tapi aku hanya makan satu kali saja, itu pun karena begitu laparnya. Aku betul-betul menyesal,” ujar Keledai.
Sontak seluruh hewan berteriak, “Oh ini nih, biang keladinya. Dialah penyebab wabah ini.”
Rubah yang selama ini menjadi pengacara bagi Singa, Serigala, dan hewan buas lainnya, kini berubah menjadi jaksa.
“Para hadirin,” ujar Rubah memulai argumennya. “Betapa Keledai dungu ini telah melakukan perbuatan keji dan mungkar. Dia berani makan rumput milik manusia. Perbuatan bejat ini patut diganjar hukuman mati untuk siapa pun, apalagi untuk hewan rendahan seperti keledai.”
Tanpa basa-basi, Keledai yang tak berdaya itu pun akhirnya ditumbalkan.
Dari Pandemi ke Pinangki, entah mengapa fabel karya Aesop ini kembali beresonansi di kepala saya. “Yang lemah,” kata Aesop, “seringkali harus menanggung kesalahan yang kuat.”
Resonansi ini mungkin karena saya kurang ngopi akhir-akhir ini atau karena terlalu mengkhayal Italia menang Euro tahun ini.