Tekan ESC untuk keluar

Lubang Sendiri: Fiksi

Selepas Magrib, seorang kepala desa (Kades) cek-cok dengan istrinya. Di tengah luapan emosinya, ia melempar kendi ke kepala istrinya hingga tewas.

Si Kades betul-betul menyesal, tak ada niat sebetulnya ia membunuh istrinya. Namun apa daya nasi sudah menjadi bubur.

Tak mau dipenjara, apalagi kehilangan posisinya, si Kades pun cari cara agar selamat. Ia lalu curhat pada sekretarisnya yang sama liciknya.

“Ada solusinya, Pak Kades,” ujar sekretaris desa (Sekdes) membisiki atasannya.

“Bagaimana?” tanya Pak Kades lirih.

“Cari remaja laki-laki, ajak ke rumah Bapak, lalu bunuh remaja itu di sebelah istri Bapak. Jadi seolah-olah Bapak memergoki mereka selingkuh, lalu mereka hendak membunuh Bapak karena ketahuan, tapi justru Bapak yang berhasil membela diri dan mereka yang tewas,” ujar Sekdes sambil tersenyum.

Malam itu juga, si Kades keliling kampung untuk mencari remaja laki-laki yang sedang sendirian nongkrong di jalan. Diajaknya remaja itu pulang dengan dalih dikasih makan dan rokok.

Setibanya di rumah, si remaja langsung dibunuh dan ditempatkan di sebelah jenazah istri Kades. Seisi kamar pun sengaja diobrak-abrik seolah-olah terjadi perkelahian maut.

Keesokan harinya beredar luas isu perselingkuhan ke seantero kampung. Begitu pula kabar dua sejoli yang tewas saat cinta terlarangnya tersingkap.

Sekdes pun bersiap melayat ke rumah atasannya. Ia lalu memanggil anak laki-lakinya untuk ikut bersamanya. Tapi sepertinya anak laki-lakinya belum juga pulang sejak semalam.

Sekdes pun berangkat seorang diri ke rumah Kades. Betapa kagetnya, saat si Sekdes mendapati anak laki-lakinya sendiri yang terbaring tanpa nyawa di rumah Pak Kades.

Seperti sarannya sendiri, remaja itu ditempatkan setengah telanjang persis di sebelah jenazah istri Pak Kades.

Sekdes menjerit. Ia menjadi orang yang paling histeris di rumah Kades lebih dari keluarga Pak Kades.

Orang-orang tak tahu bahwa si Sekdes menangis dilematis: membongkar pembunuhan sama saja mengakui perannya sendiri, sementara tidak membongkar, berarti anak laki-lakinya mati sia-sia oleh ide liciknya sendiri.

~ He who digs a pit for others falls in himself (dia yang menggali lubang untuk orang lain, akan terperosok di lubangnya sendiri).

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩