
Di Amerika Serikat (AS), kebebasan sipil dijunjung tinggi. Tapi satu prinsip tetap dijaga: kedaulatan negara tak boleh dikerdilkan oleh ormas bergaya militer.
Ya, mereka kerap menyaru sebagai “kelompok sipil”, tapi bertindak layaknya tentara bayangan: berseragam ala militer, membawa pentungan dan pistol, mengintimidasi warga, bahkan memonopoli wilayah.
Guna mencegah insiden penyerbuan gedung parlemen terulang, Senator Edward Markey mengajukan RUU Preventing Private Paramilitary Activity Act of 2024.
Isinya tegas: melarang kelompok sipil—ormas—yang bertindak layaknya aparat.
Lantas, apa saja yang dilarang dalam RUU ini?
1. Berpatroli sambil membawa senjata.
2. Mengintimidasi warga dalam menjalankan haknya.
3. Meniru fungsi polisi atau tentara.
4. Mengganggu jalannya pemerintahan atau proses hukum.
Lalu, ancaman hukumannya?
Siapa yang melanggar bisa dipenjara hingga 5 tahun, bahkan seumur hidup jika menyebabkan kematian.
Seluruh aset dan perlengkapan yang digunakan dapat disita. Korban juga diberi hak menggugat secara perdata.
Mengapa negara seperti AS mengusulkan hukum sekeras ini?
Karena mereka paham:
Jika ormas-ormas yang kebablasan ini dibiarkan merajalela, maka negara akan lumpuh dari dalam: rasa aman publik hilang, kepastian hukum tergerus, dan investasi berkurang.
Ya, investor mana yang betah menaruh uang di wilayah yang dikuasai “organisasi sipil” yang bertingkah bak gangster?
Dan kalau investor pergi, yang paling rugi tentu para pekerja dan negara itu sendiri.
Jadi ini bukan soal membatasi kebebasan berpendapat. Tapi soal menjaga supremasi hukum, kenyamanan masyarakat, dan martabat Republik.
Ormas boleh ada. Tapi harus tunduk pada hukum, bukan menggantikan fungsi aparat.
Karena ketika hukum tunduk pada premanisme, yang runtuh bukan hanya wibawa negara — tapi rakyat dipaksa menanggung biaya mahalnya.
Semoga RUU-nya dilanjutkan, Amerika.