
Setelah seorang kardinal terpilih sebagai Paus dalam sebuah konklaf, beliau tak langsung muncul ke balkon untuk menyapa dunia.
Beliau terlebih dahulu berjalan menuju sebuah ruang kecil yang tersembunyi di balik Kapel Sistina. Ruang itu dikenal dengan nama yang menggetarkan: Ruang Air Mata.
Ya, di ruang inilah jubah kebesaran Paus telah disiapkan. Tapi di ruang ini pula begitu banyak air mata tumpah.
Bukan karena bahagia—tapi karena menyadari dahsyatnya amanah yang kini tertambat di pundaknya—sebagai pemimpin umat Katolik sedunia.
Air mata yang tumpah itu bukan kelemahan. Ia adalah kesadaran.
Kesadaran bahwa kekuasaan sejati bukanlah takhta, tetapi taklif. Bukan kehormatan, tetapi beban pertanggungjawaban.
Ketika seorang pemimpin memahami jabatan sebagai amanah, di titik itulah ia pantas untuk dititipkan.