Belum tuntas kabar serbuan suku-bangsa Jermanik di perbatasan utara Romawi, Kaisar Romawi Marcus Aurelius tiba-tiba mendapat kabar buruk lainnya.
Wabah Antoninus tengah memporak-porandakan seantero wilayahnya. Warga yang sakit biasanya mulai dengan flu lalu demam beserta diare. Kalau mereka bertahan selama dua minggu biasanya selamat. Namun, banyak yang tidak.
Kuburan penuh. Ketakutan merajalela. Ekonomi gempor. Bahkan di kota Roma sendiri 2000 orang tewas mengenaskan setiap hari.
Inilah wabah terburuk dalam sejarah Romawi yang akhirnya merenggut nyaris 10 juta jiwa dalam 15 tahun.
Lalu bagaimana sang Kaisar menghadapi dua “perang” ini sekaligus:
1. Dia mempercayai Galen, seorang dokter terbaik di zaman itu, untuk melakukan eksperimen apa pun untuk mencari tahu sumber penyakit. Dari Galen-lah kita tahu apa itu wabah Antoninus (kemungkinan besar cacar).
2. Pejabat dan jenderal tidak becus langsung distafkan. Pemilihan pejabat dan jenderal lebih kepada faktor merit ketimbang nasab atau duit.
3. Mengerem korupsi dengan audit pengeluaran dan pajak daerah. Kepala daerah lebih sulit “main” di zaman Marcus, karena ia sendiri hidup sederhana dan terkenal tidak korup. Korupsi di zaman Marcus turun drastis.
4. Kontrol pengeluaran negara hanya untuk hal esensial. Marcus bahkan menjual banyak aset, vila, perabotan, dan perhiasan milik negara yang tak perlu. Ia bahkan meminta istrinya untuk menjual perhiasan untuk diberikan ke kas negara.
5. Marcus memajaki ultra-rich (orang super kaya) yang vila mereka saja mereka lupa berapa jumlahnya.
6. Orang kaya atau miskin yang punya utang ke negara diberikan keringanan bahkan penghapusan utang. Bagi yang mau pinjam uang untuk modal usaha diberi bunga rendah.
7. Biaya penguburan dibiayai penuh oleh negara.
8. Marcus selalu tampil di tengah-tengah publik untuk menjelaskan apa yang sedang pemerintah lakukan.
Memang, Marcus tak sempurna. Ia juga membuat kebodohan seperti mengkambing-hitamkan umat Nasrani dan menuruti Aleksander asal Abonoteichus si nabi palsu.
Namun, dalam beberapa hal kebijakan, dia tepat sasaran. Mungkin saja bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah mana pun di zaman now.
Singkat cerita, Marcus akhirnya sukses memenangkan “dua perangnya”, yaitu melawan wabah (walaupun dia akhirnya tewas di tahun terakhir wabah) dan serbuan suku-bangsa Jermanik.
Tak aneh bila Edward Gibbon, sang mahaguru sejarah Romawi, justru mencatat kepemimpinan Marcus dengan tinta emas. Padahal tantangan yang dihadapi sang Kaisar begitu dahsyat.
Gibbon bahkan mengklaim kepemimpinan Marcus sebagai “periode dalam sejarah dunia di mana kondisi umat manusia paling bahagia dan sejahtera.”
Not bad, Marcus. Not bad. Hail Caesar.