
Di zaman ketika dunia—dan dunia maya—menuhankan kemewahan, Sri Paus Fransiskus datang membawa pelajaran yang terlupakan: kesederhanaan.
Sebagai pemimpin Gereja Katolik, beliau berhak tinggal di Istana Apostolik — kediaman resmi para Paus yang begitu megah.
Namun, beliau memilih menetap di Wisma Santa Marta — rumah tamu sederhana di sudut Vatikan.
Ketika tradisi membolehkannya memakai sepatu merah kebesaran, beliau tetap setia pada sepatu hitam lamanya — usang, tapi penuh makna.
Beliau tidak memerintah dari atas singgasana, tapi berupaya memimpin dari kedalaman hati.
Beliau tidak meninggikan dirinya, tapi berupaya mengangkat martabat orang lain.
Dunia mengenangnya bukan karena gelar kebesarannya, tapi karena contoh keteladanannya bahwa:
Kesederhanaan itu bukanlah kekurangan, tapi bentuk tertinggi dari kemuliaan.