Tekan ESC untuk keluar

SULTAN BAYEZID II DAN KAPALNYA

Ketika kaum Muslim dan Yahudi dipersekusi dan diusir dari Spanyol pada 1492, seluruh Eropa bisu, kecuali satu.

Ada satu sultan yang lantang berbicara. Sultan Bayezid II dari Kekhalifahan Utsmaniyah namanya.

Dengan tegas, sang Sultan memberi perintah:

“Kerahkan armada kita ke Andalusia dan selamatkan Muslim dan Yahudi sebanyak-banyaknya. Bila kamu temukan mereka di daerah kekuasaan kita, maka perlakukanlah kaum Yahudi dengan baik.”

Tak kurang 150 ribu orang Yahudi diselamatkan dari nasib yang kelam. Bahkan ada yang mengatakan hingga 500 ribu jiwa.

Di kemudian hari, seorang pemikir Yahudi, Albert Levy, yang nasabnya tersambung ke penyintas Yahudi yang diselamatkan oleh sultan Bayezid, menulis sebuah puisi:

Dia [Bayezid II] mengirimkan perintah resmi
ke provinsi-provinsi Eropa pada umumnya,
memerintahkan semua gubernur
untuk tidak menolak pengungsi dari Spanyol

untuk menerimanya dengan ramah dan baik,
untuk memberi mereka perlindungan di kota mana pun,
memperlakukan mereka sebagai warga negara
agar mereka bisa hidup layak dan bahagia

Oleh karena itu, berkat kepemimpinan ini,
yang sangat baik, manis, dan manusiawi,
orang-orang Yahudi yang diusir dari Spanyol
mulai menjalani hari-hari yang lebih baik.

Ribuan orang menetap di Turki,
membentuk keluarga besar,
mengorganisir diri di berbagai komunitas,
dan berusaha serta beraktivitas

Mereka membuka sekolah, mendirikan sinagoga,
mereka mengorganisir berbagai institusi;
dalam waktu singkat mereka meraih kesuksesan,
membuat kemajuan yang signifikan.

——

Memang betul, ada kelompok imigran yang tahu balas budi. Tapi ada pula yang lupa diri hingga tega mencaplok tanah dari tuan rumah yang pernah memberikan kehangatan dan perlindungan.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩