Tekan ESC untuk keluar

TRUMAN: AWAL KISAH ISRAEL-AMERIKA

11 menit setelah David Ben-Gurion, seorang Zionis karismatik, mendeklarasikan pendirian negara Israel pada 14 Mei 1948, Amerika Serikat langsung mengamininya. Padahal hari itu waktu sudah menjelang tengah malam, tapi negara adidaya itu ogah berlama-lama.
Walhasil, Amerika menjadi negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Israel di tanah Palestina dalam waktu kurang dari jeda istirahat sepakbola (15 menit).
Entah apa yang menyebabkan Presiden Amerika kala itu, Harry Truman, begitu ngebet mengambil keputusan itu. Padahal, penasehat dan menterinya kala itu tak satu suara.
Ada yang mengatakan keputusan Truman karena faktor simpati Truman terhadap pembantaian bangsa Yahudi di Eropa.
Ada pula komitmen dia terhadap “Rumah Yahudi” seperti yang ia kampanyekan waktu menjadi senator serta ditambah pusingnya mengurusi pengungsi Yahudi dari Eropa bila tidak segera diberi “rumah”.
Ada pula faktor pemilih Yahudi domestik yang hendak Truman rayu untuk pemilihan presiden selanjutnya.
Apapun alasannya, Truman menyebut keputusannya itu “salah satu momen yang paling membanggakan dalam karirnya.” Jangan tanya apakah momen membanggakan lainnya adalah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki dengan bom nuklir ya.
Tapi Truman ini aneh, di catatan hariannya di tahun 1947, satu tahun sebelum pengakuan Israel, ia menulis:
“Orang Yahudi, menurut saya sangat, sangat egois. Mereka tidak peduli berapa banyak orang Estonia, Latvia, Finlandia, Polandia, Yugoslavia atau Yunani yang dibunuh atau dianiaya sebagai pengungsi asalkan orang Yahudi mendapat perlakuan khusus. Namun ketika mereka berkuasa, baik secara fisik [kekuatan], keuangan, maupun politik, Hitler dan Stalin pun kalah dari mereka dalam hal kekejaman atau penganiayaan terhadap kelompok yang tertindas.”
Entah apa yang merasukimu Truman?
Referensi: Truman Library, Harry Truman’s Forgotten Diary
@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩