Tekan ESC untuk keluar

Yannie Kim: Diaspora Indonesia yang Mewarnai Industri Akting Korea Selatan

Jakarta – Yannie Kim, yang lahir dengan nama asli Yannie Mustafa, merupakan salah satu contoh sukses dari warga Indonesia yang berhasil menembus industri hiburan Korea Selatan. Lahir di Bekasi pada tahun 1979, Yannie memulai perjalanan kariernya dari sebuah perusahaan milik Korea di Indonesia. Tahun 2000 menjadi titik balik dalam hidupnya ketika ia dikirim ke Korea Selatan untuk mengikuti pelatihan dan training selama dua tahun.

Selama berada di Korea, Yannie bertemu dengan seorang pria Korea bernama Ko Incheol. Perjalanan cinta mereka penuh dengan lika-liku, terutama karena perbedaan budaya dan keyakinan. Namun, cinta mereka akhirnya berlabuh di pelaminan dan mereka dikaruniai dua anak perempuan, Ko Soobin dan Ko Eunbi.

Perjalanan Yannie di dunia hiburan Korea dimulai secara tak terduga. Dia awalnya diminta mengisi film dokumenter yang mengisahkan tentang pernikahan beda budaya. Tanpa disangka, kariernya berlanjut ke dunia perfilman layar lebar Korea Selatan. Dengan tekad yang kuat dan kegigihannya mengikuti berbagai casting, Yannie berhasil mendapatkan peran dalam sejumlah drama dan film ternama Korea.

Beberapa drama terkenal yang pernah dibintanginya antara lain:

  1. Yong Pal (2015) sebagai seorang ibu hamil,
  2. Dear My Friends (2016) sebagai Jacqueline, dan
  3. Hospital Ship (2017) di mana ia memerankan seorang pasien tuna wicara.
  4. Perannya dalam Voice Season 3: City of Accomplices (2019) sebagai Tteuwi, serta di
  5. Strangers from Hell (2019) sebagai istri Kumail, semakin mengukuhkan posisinya di industri hiburan Korea.

Yannie juga terlibat dalam drama Beautiful Love, Wonderful Life (2019) sebagai Ms. Nguyen, seorang asisten rumah tangga. Di Dinner Mate (2020), ia berperan sebagai tunangan Jin Seob, dan di If You Wish Upon Me (2022), ia memainkan karakter sebagai istri Lee Gil Yong. Terbaru, Yannie tampil dalam drama populer Queenmaker (2023) sebagai Angela.

Selain peran-peran di atas, Yannie juga mendapatkan kesempatan untuk tampil di drama A Shop For Killers (2023). Dalam drama tersebut, ia tampil dalam dua episode, yaitu episode empat dan enam, di mana ia berperan sebagai seorang jaksa. Menariknya, dalam drama tersebut, Yannie beradu akting dengan aktor ternama Lee Dong Wook. Dalam salah satu adegan, karakternya yang seorang jaksa melakukan interogasi terhadap karakter utama, Jung Ji Man. Momen ini memberikan pengalaman tak terlupakan bagi Yannie, terutama ketika ia berkesempatan berfoto bersama Lee Dong Wook, yang kemudian ia bagikan di Instagram dengan penuh keceriaan.

“Setiap kali saya mendapatkan peran baru, saya merasa tertantang untuk memberikan yang terbaik,” kata Yannie Kim ketika berbicara tentang dedikasinya di industri hiburan Korea Selatan.

Keberhasilan Yannie tidak hanya terlihat di dunia akting. Dia juga merupakan seorang penerjemah dan konsultan pekerja asing di HRD Korea, serta pernah mendapatkan gelar Mrs. Korea World Best Talent pada tahun 2012. Gelar ini mencerminkan bakat dan dedikasinya yang luar biasa, tidak hanya di industri hiburan tetapi juga di bidang lainnya.

Perjalanan Yannie yang penuh tantangan di Korea Selatan telah menempa dirinya menjadi sosok yang kuat dan sukses. Tidak hanya dia, anak perempuan sulungnya, Ko Soobin, juga mengikuti jejaknya di dunia seni peran. Keberhasilan Yannie merupakan inspirasi bagi banyak orang, terutama mereka yang berjuang di negeri asing.

Dalam setiap langkahnya, Yannie Kim selalu menunjukkan bahwa dengan kerja keras dan semangat, tidak ada yang tidak mungkin untuk dicapai. Semoga kesuksesan terus menyertai perjalanan kariernya di masa depan.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩