Selain dikenal karena kebijaksanaannya, Raja Louis XI dari Prancis juga terkenal akan kelicinan dan intrik politiknya.
Para musuhnya bahkan menjulukinya “Raja Laba-Laba” karena caranya memperluas kekuasaan dengan jaringan intrik dan diplomasi yang rumit—mirip laba-laba yang menenun jaring untuk menangkap mangsanya.
Salah satu cara sang raja untuk mengecoh dan menjebak mangsanya adalah dengan sandiwara dan seni kepura-puraan.
Konon, dalam suatu kesempatan, ia mencibir orang yang polos dan tak lihai memakai topeng politik.
Sang Raja Laba-Laba berujar, “Dia yang tak tahu caranya berpura-pura, tidak dapat memerintah.”
Namun, seperti jaring laba-laba yang halus namun rapuh, intrik politik dan kepura-puraan tak selamanya bertahan.
Ada masa di mana tipu daya akan terbongkar, dan musuh yang terus-menerus dijebak akan semakin waspada.
Kelicikan Louis XI yang konsisten akhirnya memicu lawan-lawannya untuk bersatu dalam sebuah koalisi besar bernama League of the Public Weal.
Mereka, yang biasanya terpecah belah, kini bersatu menghadapi sang Raja Laba-Laba.
Pada akhirnya, Louis XI dipaksa untuk membuat konsesi besar—sebuah pengingat bahwa dalam politik, sekalipun kelicikan dapat membawa kemenangan, kebenaran yang terungkap akan menuntut harga yang mahal.
Ya, kepura-puraan seringkali berhasil dalam jangka pendek. Namun, untuk mempertahankan kekuasaan yang langgeng, dibutuhkan integritas dan kejujuran sebagai fondasinya.
Sebab tipu daya dan pura-pura punya tanggal kadaluarsa. Seperti kata Presiden Abraham Lincoln, “Kamu bisa saja menipu semua orang untuk beberapa saat, dan sebagian orang untuk selamanya, tapi kamu tidak bisa menipu semua orang selamanya.”