Suatu ketika ada seorang pemuda datang menemui Rasulullah ﷺ dan menghadiahi beliau ﷺ seqirbah (wadah air) khamr.
Sontak tindakan pemuda tersebut membuat kaget para sahabat yang saat itu bersama Rasulullah ﷺ.
Beberapa sahabat tampak telah bersiap ingin memaki pemuda tersebut. Namun, Rasulullah ﷺ tampak tenang.
“Tahukah kamu bahwa Allah telah melarang kita mengkonsumsi khamr?” tanya Rasulullah ﷺ kepada si pemberi hadiah.
“Aku tak tahu, wahai Rasulullah ﷺ,” jawab si pemberi hadiah kaget.
Tak lama, si pemberi hadiah menyadari kesalahannya. Lalu ia memerintahkan pembantunya untuk mengambil khamr tadi dan menyuruh pembantunya untuk menjual khamr itu di pasar.
Para sahabat tampak semakin geram. Namun, sekali lagi, Rasulullah ﷺ tetap tenang.
“Tahukan kamu bahwa Allah yang telah melarang kita mengkonsumsi khamr juga telah melarang kita untuk memperjualbelikannya?” tanya Rasulullah ﷺ kembali.
“Aku tak tahu, wahai Rasulullah,” jawab si pemberi hadiah semakin kaget.
Si pemberi hadiah mulai paham bahwa khamr yang hendak ia hadiahkan ke Rasulullah ﷺ, lalu ia ingin jual ke pasar itu hukumnya haram. Menyadari kekeliruannya, ia pun segera membuang semua khamr yang ia bawa tanpa diminta.
Betapa mulianya adab Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ tidak marah atau merendahkan orang yang menawarinya khamr. Dalam hal apa pun, Rasulullah ﷺ mengedepankan hikmah sehingga lawan bicaranya dapat mengerti Islam tanpa merasa terintimidasi.
Dengan hikmah itulah orang akhirnya mengenal Islam sekaligus mengenal bagaimana caranya Islam harus disampaikan.
Ajaran (Islam) yang baik dan disampaikan dengan cara baik akan membuat orang tertarik berkali-kali lipat untuk menerimanya, dan itulah yang disebut hikmah.
Allah berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik (QS. An-Nahl [16]: 125).