Membaca aksi tembak-menembak di Papua, saya jadi teringat strategi Zhuge Liang dalam memenangkan hati dan pikiran rakyat serta memadamkan “pemberontak” Nanman di wilayah selatan Cina.
Ahli strategi legendaris dari Negeri Shu itu paham betul bahwa pendekatan militer semata di wilayah selatan dan perbatasan tidak akan bisa menertibkan suku-suku di selatan yang cenderung ingin independen dan merasa diri mereka berbeda. Ehem, agak mirip ya?
Dipimpin oleh Meng Huo, suku-suku di selatan akhirnya menyerang tentara Zhuge Liang. Namun, mereka kalah telak dan ditangkap oleh Zhuge Liang.
Meng Huo dan para kaptennya pun berpikir bahwa mereka akan dieksekusi mati oleh Zhuge Liang.
Namun, yang terjadi justru mereka dijamu dan dihormati oleh Zhuge Liang. Setelah itu, Zhuge Liang membebaskan mereka dan berkata, “Ini hanya salah paham sesama anak bangsa saja, kalian bebas.”
Meng Huo rupanya masih penasaran dan menyerang kembali. Tapi lagi-lagi ia gagal dan ditangkap. Anehnya, Zhuge Liang lagi-lagi menjamu Meng Huo dan para kaptennya serta membiarkan mereka pergi.
Untuk ketiga kalinya, Meng Huo menyerang kembali. Namun, sebagian kaptennya justru membelot ke Zhuge Liang karena merasa kagum dengan sifat kesatria (chivalry) Zhuge Liang.
Meng Huo pun kalah lagi. Namun, lagi-lagi ia dijamu dan dibebaskan oleh Zhuge Liang.
Hal ini terus berlangsung, hingga akhirnya Meng Huo menangis dan berkata kepada Zhuge Liang, “Sungguh engkau adalah pemilik kekuasaan sejati. Aku menyerah dan bersumpah setia kepadamu.”
Setelah itu, Zhuge Liang pun meninggalkan wilayah selatan dan fokus pada pertempuran di utara.
Ketika ditanya mengapa ia hanya meninggalkan sedikit pasukan di selatan, sang ahli strategi itu berkata, “Kita tidak hanya telah berhasil mematahkan pedang mereka, tetapi juga menaklukan hatinya. Mereka akan selamanya setia kepada kita.”
Dan betul saja, selatan tidak pernah berontak kembali.
Kill them with your kindness, kurang lebih bahasa zaman now-nya.