Tekan ESC untuk keluar

PUISI SULTAN MUHAMMAD AL-FATIH UNTUK RASULULLAH ﷺ

AKU TAK INGIN

Apalah artinya mawar tanpa harum-mu

Apalah artinya musim semi tanpamu

Apalah artinya terbitnya mentari tanpa hadirmu

Apalah artinya dunia ini yang telah kautinggalkan

Aku tak ingin hujan yang turun tanpa menyentuh kulitmu

Jika bintang-bintang bersinar, biarlah mereka bersinar untukmu

Aku tak ingin bintang-bintang yang bersinar tidak untukmu

Jika burung bulbul bernyanyi, biarlah mereka bernyanyi memujimu

Aku tak ingin mendengar burung bulbul yang tak bernyanyi memujimu

Jika rinduku untukmu, biarkan hatiku terbakar

Aku tak ingin negeri yang tak ada hadirmu

Jika api membakar hatiku, maka biarkan itu api cintaku kepadamu

Jika hatiku berubah menjadi abu selain karena cintamu, aku tak ingin hati ini, aku tak ingin api ini, aku tidak ingin arang ini

Oasis di mana aku tak bisa melihatmu, biarkan itu menjadi milik si Badui

Gurun gersang di mana engkau hadir sungguh lebih aku cintai

Jika suatu jalan akan menujumu, maka aku tak akan berhenti berjalan

Aku benci jalan yang tak menujumu

Aku seorang hamba sahaya yang rela

Aku rela melewati seribu Sinai jika itu dapat menaklukkan hatimu

Kalau tidak, apa artinya ini bagiku?

Aku tak ingin Fatih (penaklukan) ini

Aku tak ingin Mesir

Aku tak ingin dunia ini

Aku Sultan Fatih, dan di depan Istanbul (Konstantinopel)

Aku rela membakar kota ini, hanya untuk melihat sekejap senyum di wajahmu

Aku tak ingin Istanbul dan kekuasaan yang tak membuatmu tersenyum

Aku penyair yang tak berbakat, tapi aku hanya ingin menulis syair untukmu

Aku tak ingin menulis dengan pena dan kertas yang tak ada nama dan cintamu

Aku dari umatmu, dan engkaulah tuanku

Aku tak ingin tuan selain dirimu, aku tak ingin kekasih selain dirimu

Aku tak ingin.

###

P.S. Puisi untuk Nabi Muhammad ‎ﷺ ini ditulis oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, yang menaklukan Konstantinopel. Ia kerap menulis dengan nama samaran “Avni” (penolong).

Diriwiyatkan:

“Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan, maka sebaik-sebaik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu” (HR. Ahmad no. 18189; sahih menurut Imam Al-Hakim, Adz-Adzhabi, As-Suyuthi).

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩