Tekan ESC untuk keluar

Youri Djorkaeff Si Ular

Dijuluki Si Ular karena kelincahan dan ketrampilannya mengolah bola, Youri Djorkaeff adalah salah satu gelandang serang terbaik yang pernah membela Inter, PSG, dan Monaco.

Kiprah Djorkaeff dengan timnas Prancis pun mempesona. Pemain keturunan Armenia itu pernah mempersembahkan gelar Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 bersama @zidane cs.

Pemain dengan teknik tinggi itu juga dikenal sebagai figur yang rendah hati. Kesempatan berbincang dengan sang juara dunia ini merupakan sebuah pengalaman yang tak ternilai bagi saya, yang juga seorang fans berat Inter.

Berikut adalah cuplikan obrolan seputar bola antara saya (H) dan Djorkaeff (D):

H: Saya masih ingat betul gol spektakular Anda saat melawan Roma (96/97). Juga lawan Lecce (1997/1998), di mana Anda tidak hanya mencetak gol tapi juga memberi asist cantik kepada Ronaldo (Brasil).

D: Terima kasih. Itu adalah memori yang indah bagi saya. Bermain dengan @ronaldo itu mudah. Saya hanya perlu mengopernya dan dia akan melakukan segalanya: menggocek, mengumpan, mencetak goal, dan melakukan suatu yang spesial.

H: Anda pernah bermain dengan begitu banyak mega-bintang sepakbola. Siapa rekan satu tim atau lawan Anda yang terkuat?

D: Tanpa ragu, saya katakan Ronaldo. Kekuatan, kecepatan, akurasi, teknik, semua ada pada dirinya. Pemain berikutnya adalah Zidane.

H: Bagaimana dengan bek-bek tangguh yang Anda hadapi?

D: Paolo Maldini. Dia adalah pemain bertahan yang sangat tangguh.

H: Saat ini ada beberapa pemain Prancis di Inter. Saya begitu terkesan dengan Marcus Thuram. Bagaimana pendapat Anda tentangnya?

D: Thuram adalah pemain yang spesial dengan kemampuan teknikal dan fisikal yang prima. Dia berhasil transisi menjadi penyerang tengah yang efektif. Kemampuan dribblingnya pun sangat baik. Dia akan menjadi pemain penting bagi Inter dan Prancis.

Merci beaucoup, Monsieur Djorkaeff.

Semoga Henrikh Mkhitaryan yang juga keturunan Armenia dapat mengikuti jejak Anda sebagai legenda Inter.

@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩