Tekan ESC untuk keluar

PAPUA DAN ZHUGE LIANG

Membaca aksi tembak-menembak di Papua, saya jadi teringat strategi Zhuge Liang dalam memenangkan hati dan pikiran rakyat serta memadamkan “pemberontak” Nanman di wilayah selatan Cina.
Ahli strategi legendaris dari Negeri Shu itu paham betul bahwa pendekatan militer semata di wilayah selatan dan perbatasan tidak akan bisa menertibkan suku-suku di selatan yang cenderung ingin independen dan merasa diri mereka berbeda. Ehem, agak mirip ya?
Dipimpin oleh Meng Huo, suku-suku di selatan akhirnya menyerang tentara Zhuge Liang. Namun, mereka kalah telak dan ditangkap oleh Zhuge Liang.
Meng Huo dan para kaptennya pun berpikir bahwa mereka akan dieksekusi mati oleh Zhuge Liang.
Namun, yang terjadi justru mereka dijamu dan dihormati oleh Zhuge Liang. Setelah itu, Zhuge Liang membebaskan mereka dan berkata, “Ini hanya salah paham sesama anak bangsa saja, kalian bebas.”
Meng Huo rupanya masih penasaran dan menyerang kembali. Tapi lagi-lagi ia gagal dan ditangkap. Anehnya, Zhuge Liang lagi-lagi menjamu Meng Huo dan para kaptennya serta membiarkan mereka pergi.
Untuk ketiga kalinya, Meng Huo menyerang kembali. Namun, sebagian kaptennya justru membelot ke Zhuge Liang karena merasa kagum dengan sifat kesatria (chivalry) Zhuge Liang.
Meng Huo pun kalah lagi. Namun, lagi-lagi ia dijamu dan dibebaskan oleh Zhuge Liang.
Hal ini terus berlangsung, hingga akhirnya Meng Huo menangis dan berkata kepada Zhuge Liang, “Sungguh engkau adalah pemilik kekuasaan sejati. Aku menyerah dan bersumpah setia kepadamu.”
Setelah itu, Zhuge Liang pun meninggalkan wilayah selatan dan fokus pada pertempuran di utara.
Ketika ditanya mengapa ia hanya meninggalkan sedikit pasukan di selatan, sang ahli strategi itu berkata, “Kita tidak hanya telah berhasil mematahkan pedang mereka, tetapi juga menaklukan hatinya. Mereka akan selamanya setia kepada kita.”
Dan betul saja, selatan tidak pernah berontak kembali.
Kill them with your kindness, kurang lebih bahasa zaman now-nya.
@hamdan.hamedan on Instagram
PROF HAYE

Thom Haye namanya.

Sang Profesor julukannya.

Rendah hatinya, cerdas mainnya. 

Darah Indonesia mengalir di tubuhnya.

Dari Jawa tengah dan Sulawesi Utara.

Prof Haye tak suka berdialektika.

Apalagi berpanjang kata.

Dia bicara lewat kakinya.

Di lapangan, dia kuasai irama. 

Bagai Pirlo-nya Indonesia. 

Dia lesatkan umpan jitu mempesona.

Gol demi gol pun tecipta.

Dia dan anak bangsa lainnya.

Membela Garuda dengan cinta. 

Bahu membahu menjaga asa. 

Asa bangsanya yang rindu piala dunia.

Dia adalah kita, kita adalah dia. 

Satu jiwa, satu bangsa, satu Garuda.
AMERIKA EMAS

Di akhir abad ke-18, hiduplah dua rival dan tokoh besar di Amerika Serikat. Thomas Jefferson dan Alexander Hamilton namanya. 

Jefferson, yang tumbuh dalam tradisi agrikultur, lebih condong pada desentralisasi dan pertanian. 

Sementara itu, Hamilton, yang berpengalaman militer dan besar di lingkungan perkotaan, mendukung sentralisasi dan industrialisasi. 

Keduanya punya ide besar untuk negaranya. Keduanya pun ditopang pendukung yang besar. Tapi yang terpenting, keduanya bertekad membuat Amerika, yang belum lama merdeka, menjadi negara besar. 

Meskipun telah lama berseteru, mereka akhirnya setuju untuk mencapai sebuah kompromi. 

Kompromi itu dikenal sebagai Kompromi 1790.

Sederhananya, Jefferson bersedia mendukung Hamilton terkait hutang negara. Hamilton pun mendukung Jefferson terkait pembangunan dan pemindahan ibukota ke daerah yang lebih ke tengah (atau “Amerika-sentris” )—daerah yang kini dikenal sebagai Washington DC. 

Jefferson paham betul pentingnya persatuan di momen krusial dalam sejarah negara yang masih muda. Jangan sampai Amerika layu sebelum berkembang—itu yang ada di benaknya.

Ketika dilantik menjadi presiden, Jefferson tegas berkata: 

“Setiap perbedaan pendapat bukanlah perbedaan prinsip. Kita mungkin punya nama yang berbeda, tapi kita adalah saudara dengan prinsip yang sama.”

Prinsip yang dimaksud Jefferson tak lain adalah prinsip republik yang satu, dan negara yang maju.

Di kemudian hari, sejarawan mencatat bahwa Kompromi 1790 sebagai salah satu kompromi terpenting dalam sejarah Amerika. 

Ketika kedua pemimpin besar memilih untuk menurunkan ego dan bersatu padu, kesuksesan suatu negara sepertinya hanya tinggal menunggu waktu.

Jefferson dan Hamilton pun akhirnya dikenang bukan hanya sebagai rival, tapi sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi—mewariskan pelajaran bahwa persatuan adalah fondasi dari Amerika Emas.
BANGGA

Tim dengan ranking FIFA 132 berhasil mengimbangi tim dengan ranking 24. 

Alhamdulillah, super bangga. 

Man of the match adalah Martin “the Wall” Paes: sang Tembok Indonesia. 

Seakan @maartenpaes bangun pagi, bercermin lalu berkata, “Thou shall not pass.” 

Terima kasih banyak seluruh punggawa Garuda. You are truly our joy and pride 🇮🇩🦅🔥

P.S. Kepada pemain diaspora Indonesia yang tinggal di Australia, saya pernah berprediksi, “Indonesia dalam waktu dekat akan mengimbangi Australia.” Alhamdulillah hari ini buktinya 😎
Happy birthday, President Yudhoyono. 

May you be graced with profound joy, enduring health, and abundant blessings. 

Your legacy of wisdom and unwavering dedication to our nation remains an enduring source of inspiration. 

Today, we honor not only your years but the lasting impact of your exemplary leadership. 🫡🇮🇩